Jumat, 13 November 2015

Perilaku Etika Dalam Profesi Akuntansi



Timbul dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu negara adalah sejalan dengan berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara tersebut. Jika perusahaan-perusahaan di suatu negara berkembang sedemikian rupa sehingga tidak hanya memerlukan modal dari pemiliknya, namun mulai memerlukan modal dari kreditur, dan jika timbul berbagai perusahaan berbentuk badan hukum perseroan terbatas yang modalnya berasal dari masyarakat, jasa akuntan publik mulai diperlukan dan berkembang. Dari profesi akuntan publik inilah masyarakat kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas tidak memihak terhadap informasi yang disajikan dalam laporan keuangan oleh manajemen perusahaan.
Profesi akuntan publik menghasilkan berbagai jasa bagi masyarakat, yaitu jasa assurance, jasa atestasi, dan jasa nonassurance. Jasa assurance adalah jasa profesional independen yang meningkatkan mutu informasi bagi pengambil keputusan. Jasa atestasi terdiri dari audit, pemeriksaan (examination), review, dan prosedur yang disepakati (agreed upon procedure). Jasa atestasi adalah suatu pernyataan pendapat, pertimbangan orang yang independen dan kompeten tentang apakah asersi suatu entitas sesuai dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah ditetapkan. Jasa nonassurance adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang di dalamnya ia tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain keyakinan. Contoh jasa nonassurance yang dihasilkan oleh profesi akuntan publik adalah jasa kompilasi, jasa perpajakan, jasa konsultasi.
Secara umum auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan tentang kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Ditinjau dari sudut auditor independen, auditing adalah pemeriksaan secara objektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi yang lain dengan, tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar keadaan keuangan dan hasil usaha perusahaan atau organisasi tersebut.
Profesi akuntan publik bertanggung jawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan-perusahaan, sehingga masyarakat keuangan memperoleh informasi keuangan yang andal sebagai dasar untuk memutuskan alokasi sumber-sumber ekonomi.
Etika Profesional Profesi Akuntan Publik
Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota profesinya. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik merupakan etika profesional bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari Prinsip Etika yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam konggresnya tahun 1973, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi profesi akuntan Indonesia, kemudian disempurnakan dalam konggres IAI tahun 1981, 1986,1994, dan terakhir tahun 1998. Etika profesional yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam kongresnya tahun 1998 diberi nama Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.
Akuntan publik adalah akuntan yang berpraktik dalam kantor akuntan publik, yang menyediakan berbagai jenis jasa yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik, yaitu auditing, atestasi, akuntansi dan review, dan jasa konsultansi. Auditor independen adalah akuntan publik yang melaksanakan penugasan audit atas laporan keuangan historis yang menyediakan jasa audit atas dasar standar auditing yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dijabarkan ke dalam Etika Kompartemen Akuntan Publik untuk mengatur perilaku akuntan yang menjadi anggota IAI yang berpraktik dalam profesi akuntan publik.
Akuntansi sebagai profesi dan peran akuntan.
Profesi akuntansi merupakan sebuah profesi yang menyediakan jasa atestasi maupun non-Atestasi kepada masyarakat dengan dibatasi kode etik yang ada. Akuntansi sebagai profesi memiliki kewajiban untuk mengabaikan kepentingan pribadi dan mengikuti etika profesi yang telah ditetapkan. Kewajiban akuntan sebagai profesional mempunyai tiga kewajiban yaitu; kompetensi, objektif dan mengutamakan integritas. Yang dimaksud dengan profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah, dan,akuntansebagaipendidik.
Dalam arti sempit, profesi akuntan adalah lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan sebagai akuntan publik yang lazimnya terdiri dari pekerjaan audit, akuntansi, pajak dan konsultan manajemen.
PERAN akuntan dalam perusahaan tidak bisa terlepas dari penerapan prinsipGood Corporate Governance (GCG) dalam perusahaan. Meliputi prinsip kewajaran(fairness), akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), dan responsibilitas (responsibility).
Peran akuntan antara lain :
Akuntan Publik (Public Accountants) Akuntan publik atau juga dikenal dengan akuntan eksternal adalah akuntan independen yangmemberikan jasa-jasanya atas dasar pembayaran tertentu. Mereka bekerja bebas dan umumnyamendirikan suatu kantor akuntan. Yang termasuk dalam kategori akuntan publik adalah akuntan yang bekerja pada kantor akuntan publik (KAP) dan dalam prakteknya sebagai seorang akuntan publik dan mendirikan kantor akuntan, seseorang harus memperoleh izin dari DepartemenKeuangan. Seorang akuntan publik dapat melakukan pemeriksaan (audit), misalnya terhadap jasaperpajakan, jasa konsultasi manajemen, dan jasa penyusunan system manajemen.
Akuntan Intern (Internal Accountant) Akuntan intern adalah akuntan yang bekerja dalam suatu perusahaan atau organisasi. Akuntanintern ini disebut juga akuntan perusahaan atau akuntan manajemen. Jabatan tersebut yang dapat diduduki mulai dari Staf biasa sampai dengan Kepala Bagian Akuntansi atau Direktur Keuangan. tugas mereka adalah menyusun sistem akuntansi, menyusun laporan keuangan kepada pihak-pihak eksternal, menyusun laporan keuangan kepada pemimpin perusahaan, menyusun anggaran, penanganan masalah perpajakan dan pemeriksaan intern.
Akuntan Pemerintah (Government Accountants) Akuntan pemerintah adalah akuntan yang bekerja pada lembaga-lembaga pemerintah, misalnya dikantor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Keuangan (BPK).
Akuntan Pendidik Akuntan pendidik adalah akuntan yang bertugas dalam pendidikan akuntansi, melakukan penelitian dan pengembangan akuntansi, mengajar, dan menyusun kurikulum pendidikan akuntansi di perguruan tinggi.

Ekspektasi Publik.
Masyarakat pada umumnya mengatakan akuntan sebagai orang yang profesional khususnya di dalam bidang akuntansi. Karena mereka mempunyai suatu kepandaian yang lebih di dalam bidang tersebut dibandingkan dengan orang awam sehingga masyarakat berharap bahwa para akuntan dapat mematuhi standar dan sekaligus tata nilai yang berlaku dilingkungan profesi akuntan, sehingga masyarakat dapat mengandalkan kepercayaannya terhadap pekerjaan yang diberikan. Dalam hal ini, seorang akuntan dipekerjakan oleh sebuah organisasi atau KAP, tidak akan ada undang-undang atau kontrak tanggung jawab terhadap pemilik perusahaan atau publik.Walaupun demikian, sebagaimana tanggung jawabnya pada atasan, akuntan professional publik mengekspektasikannya untuk mempertahankan nilai-nilai kejujuran, integritas, objektivitas, serta pentingannya akan hak dan kewajiban dalam perusahaan

Nilai – Nilai Etika Vs teknik Akuntan
Sebagain besar akuntan dan kebanyakan bukan akuntan memegang pendapat bahwa penguasaan akuntansi dan atau teknik audit merupakan sejata utama proses akuntansi. Tetapi beberapa skandal keuangan disebabkan oleh kesalahan dalam penilaian tentang kegunaan teknik atau yang layak atau penyimpangan yang terkait dengan hal itu. Beberapa kesalahan dalam penilaian berasal dari salah mengartikan permasalahan dikarenakan kerumitannya, sementara yang lain dikarenakan oleh kurangnnya perhatian terhadap nilai etik kejujuran, integritas, objektivitas, perhatian, rahasia dan komitmen terhadap mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan diri sendiri. Berikut penjelasannya
Integritas: setiap tindakan dan kata-kata pelaku profesi menunjukan sikap transparansi,
kejujuran dan konsisten.
Kerjasama: mempunyai kemampuan untuk bekerja sendiri maupun dalam tim
Inovasi: pelaku profesi mampu memberi nilai tambah pada pelanggan dan proses kerja
dengan metode baru.
Simplisitas: pelaku profesi mampu memberikan solusi pada setiap masalah yang timbul, dan masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana.
Teknik akuntansi adalah aturan-aturan khusus yang diturunkan dari prinsip-prinsip akuntan yang menerangkan transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian tertentu yang dihadapi oleh entitas akuntansi tersebut.



Perilaku etika dalam pemberian jasa akuntan publik.
Dari profesi akuntan publik inilah Masyarakat kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas Tidak memihak terhadap informasi yang disajikan dalam laporan Keuangan oleh manajemen perusahaan. Profesi akuntan publik menghasilkan berbagai jasa bagi Masyarakat, yaitu:
Jasa assurance adalah jasa profesional independen Yang meningkatkan mutu informasi bagi pengambil
Jasa Atestasi terdiri dari audit, pemeriksaan (examination), review, dan Prosedur yang disepakati (agreed upon procedure).
Jasa atestasi Adalah suatu pernyataan pendapat, pertimbangan orang yang Independen dan kompeten tentang apakah asersi suatu entitas sesuai Dalam semua hal yang material, dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Jasa nonassurance adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan public Yang di dalamnya ia tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan Negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain keyakinan.

Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota profesinya. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik merupakan etika profesional bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari Prinsip Etika yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia.


Contoh Kasus
KASUS PENGGELAPAN PAJAK “GAYUS”
Gayus Halomoan Partahanan Tambunan atau hanya Gayus Tambunan (lahir di Jakarta9 Mei 1979; umur 33 tahun) adalah mantan pegawai negeri sipil di Direktorat Jenderal PajakKementerian Keuangan Indonesia. Namanya menjadi terkenal ketika Komjen Susno Duadji menyebutkan bahwa Gayus mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank atas nama istrinya dan itu semua dicurigai sebagai harta haram. Dalam perkembangan selanjutnya Gayus sempat melarikan diri ke Singapura beserta anak istrinya sebelum dijemput kembali oleh Satgas Mafia Hukum di Singapura. Kasus Gayus mencoreng reformasi Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang sudah digulirkan Sri Mulyanidan menghancurkan citra aparat perpajakan Indonesia
Setelah lulus dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pada tahun 2000, Gayus ditempatkan di Balikpapan. Beberapa tahun kemudian Gayus yang diangkat menjadi PNS golongan IIIA di Bagian Penelaah Keberatan pada Seksi Banding dan Gugatan Wilayah Jakarta II Ditjen Pajak. Gayus terus berkarier di Direktorat Jenderal Pajaksampai diberhentikan karena tersandung kasus mafia kasus Pajak pada tahun 2010. Mereka yang diduga terkait kasus Gayus, antara lain:
Pegawai Dirjen Pajak termasuk seorang direktur, yaitu Bambang Heru Ismiarso dicopot dari jabatannya dan diperiksa.
orang Petinggi Kepolisian , Brigjen Pol Edmon Ilyas dan Brigjen PolRadja Erizman dicopot dari jabatanya dan diperiksa.
Bahasyim Assifie, mantan Inspektur Bidang Kinerja dan Kelembagaan Bappenas
Haposan Hutagalung sebagai pengacara Gayus
Lambertus (staf Haposan)
Alif Kuncoro
Beberapa aparat kejaksaan diperiksa
Jaksa Cirus Sinaga dicopot dari jabatannya sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Jawa Tengah, karena melanggar kode etik penanganan perkara Gayus HP Tambunan.
Jaksa Poltak Manulang dicopot dari jabatannya sebagai Direktur Pra Penuntutan (Pratut) Kejagung
Gayus Tambunan diketahui berada di Bali dan menonton pertandingan tenis Commonwealth World Championship pada tanggal 5 November 2010 dan Gayus pun mengaku berada di Bali pada tanggal tersebut di persidangan pada tanggal 15 November2010.
Polri telah melakukan penggeledahan terhadap rumah terdakwa mafia hukum, Gayus Tambunan terkait pemalsuan paspor atas nama Sony Laksono. Hasil pemeriksaan rumah Gayus di daerah Kelapa Gading, penyidik telah menemukan berbagai barang bukti perjalanan ke beberapa negara.
Dengan menggunakan paspor atas nama Sony Laksono, Gayus pelesir ke berbagai tempat Meski berstatus tahanan, Gayus diduga mengajak Milana pergi ke sejumlah negara. Mereka diduga pergi keMakau (Hong Kong), Singapura, dan Kuala Lumpur (Malaysia). Selain Milana, untuk melengkapi keterangan yang dibutuhkan, penyidik juga berharap bisa memperoleh keterangan dari Devina, penulis surat pembaca Harian Kompas yang menguak kepergian Gayus ke luar negeri
Analisis:
Prinsip Pertama – Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung-jawabnya sebagai profesional seorang pejabat perpajakan untuk mengelola pendapatan keuangan Negara harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Tapi dalam kasus pengelapan pajak keuangan Negara seorang “Gayus” telah melupakan tanggung jawab (tidak bertanggiung jawab) sebagai profesinya. Sejalan dengan peranan tersebut, seorang pejabat perpajakan “gayus” seharusnya mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka.
Prinsip Kedua – Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme. Melihat kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh pejabat perpajakan “Gayus” jelas tidak menghormati kepercayaan masyarakat luas(kepercayaan public). Dan semua itu tidak dilakukan oleh pejabat perpajakan “Gayus”. Dalam mememuhi tanggung-jawab profesionalnya, pejabat perpajakan mungkin menghadapi tekanan yang saling berbenturan dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam mengatasi benturan ini, anggota harus bertindak dengan penuh integritas, dengan suatu keyakinan bahwa apabila pejabat memenuhi kewajibannya kepada publik, maka kepentingan penerima jasa terlayani dengan sebaik-baiknya.
Prinsip Ketiga – Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas(perilaku,kejujuran,kebulatan) setinggi mungkin. Dalam kasus penggelapan pajak oleh pejabat pajak “ Gayus” tidak ditemukan sama sekali integritas yang tinggi, dalam hal kejujuran pejabat tersebut telah membohongi public, dalam hal perilaku pejabat persebut telah melukai hati public sebagai pembayar pajak.

Prinsip Keempat – Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Menengok kasus pejabat perpajakan “Gayus” syarat dengan banyak kepentingan yang  berbenturan dan bertentangan dengan kewajiban dan etika profesi. Sementara dalam kasus pejabat pajak “ Gayus” tidak menunjukkan indikasi seperti diatas alias bertentangan dengan  prinsip Obyektifitas yang mana harus bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi.
Prinsip Kelima – Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Dalam masalah pejabat perpajakan “ Gayus” Kompetensi dan kehati-hatian Profesional tidak ditunjukkan dengan memihak kepada organisasi dan golongan tertentu untuk memupuk keuntungan sendiri.
Prinsip Keenam – Kerahasiaan
Setiap anggota harus, menghormati Kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya. Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antara anggota dan klien atau pemberi kerja berakhir. Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkan informasi. Melihat kasus terhadap penyimpangan pajak yang dilakukan pejabat perpajakan “Gayus”, seharusnya kerahasiaan itu benar benar dilakukan untuk dan demi kepentingan pembangunan Negara dan Bangsa dan bukan untuk melindungi kepentingan golongan tertentu.


Prinsip Ketujuh – Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi: Hal ini sama sekali tidak di tunjukkan oleh pejabat perpajakan “Gayus” dimana prilaku profesinya jelas jelas merugikan masyarakat bangsa dan Negara.
Prinsip Kedelapan – Standar Teknis
Bahwa setiap pejabat harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan sebagai seorang pejabat perpajakan. Dalam kasus penggelapan pajak oleh pejabat perpajakan “Gayus” tidak ditemukan standar teknis dan standar professional dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya yang mana harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tentunya bermuara pada penerimaan pendapatan Negara guna pembangunan Bangsa sesuai dengan standar dan ketentuan yang berlaku.
 Sumber :

PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS



Etika bisnis merupakan suatu rangkaian prinsip/aturan/norma yang harus diikuti apabila menjalankan bisnis. Etika bisnis terkait dengan masalah penilaian terhadap kegiatan dan perilaku bisnis yang mengacu pada kebenaran atau kejujuran berusaha (bisnis). Kebenaran disini yang dimaksud adalah etika standar yang secara umum dapat diterima dan diakui prinsip-prinsipnya baik oleh masyarakat, perusahaan dan individu. Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.

Lingkungan Bisnis yang Mempengaruhi Perilaku Etika
          Memaksimalkan keuntungan merupakan satu-satunya tujuan bagi sebuah perusahaan. Akan tetapi. karena yang diincar adalah keuntungan, mudah sekali terjadi penyimpangan terhadap norma-norma moral. Mudah sekali orang tergoda untuk menempuh jalan pintas dalam meningkatkan keuntungan. Namun semakin disadari bahwa godaan itu membawa risiko besar yang akan menjadi bom waktu yang akan menghancurkan perusahaan pada jangka panjang. Dalam hal ini peran manajer sangat penting dalam mengambil keputusan-keputusan bisnis secara etis. Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku etika dalam bisnis yaitu :
a) Lingkungan Bisnis
          Seringkali para eksekutif perusahaan dihadapkan pada suatu dilema yang menekannya, seperti misalnya harus mengejar kuota penjualan, menekan biaya, peningkatan efisiensi dan bersaing, Dipihak lain eksekutif perusahaan juga harus bertanggung jawab terhadap masyarakat agar kualitas barang terjaga, harga barang terjangkau. Disini nampak terdapat dua hal yang bertentangan harus dijalankan. Misalnya, menekan biaya dan efisiensi tetapi harus tetap meningkatkan kualitas produk. Oleh karena itu eksekutif perusahaan harus pandai mengambil keputusan etis yang tidak merugikan perusahaan.
b) Organisasi
          Secara umum, anggota organisasi itu sendiri saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Dilain pihak organisasi terhadap individu harus tetap berprilaku etis, misalnya masalah pengupahan, jam kerja maksimum.
c) Indivudu
          Seseorang yang memiliki filosofi moral, dalam bekerja dan berinteraksi dengan sesama akan berprilaku etis. Prinsip-prinsip yang diterima secara umum dapat dipelajari dari interaksi dengan teman, famili, dan kenalan. Dalam bekerja, individu harus memiliki tanggung jawab moral terhadap hasil pekerjaannya yang menjaga kehormatan profesinya. Bahkan beberapa profesi memiliki kode etik tertentu dalam pekerjaannya.
untuk terciptanya etika didalam bisnis yang sesuai dengan budi pekerti luhur, ada beberapa yang perlu diperhatikan, antara lain :
Pengendalian diri
Pengembangan tenggung jawab sosial
Mempertahankan jati diri
Menciptakan persaingan yang sehat
Menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Adapun hal-hal yang perlu dihindari agar terciptanya etika didalam bisnis yang baik yaitu menghindari sikap 5K 
Katabelece
Kongkalikong
Koneksi
Kolusi, dan
Komisi

2. Kesaling Ketergantungan Antara Bisnis dan Masyarakat
          Bisnis melibatkan hubungan ekonomi dengan banyak kelompok orang yaitu pelanggan, tenaga kerja, stockholders, suppliers, pesaing, pemerintah dan komunitas. Oleh karena itu para pebisnis harus mempertimbangkan semua bagian dari stakeholders dan bukan hanya stockholdernya saja. Pelanggan, penyalur, pesaing, tenaga kerja, dan bahkan pemegang saham adalah pihak yang sering berperan untuk keberhasilan dalam berbisnis.
          Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika antara sesama pelaku bisnis maupun etika terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung. Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia.
          Pelaku bisnis dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan dengan mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian pelatihan keterampilan, dan lain sebagainya. Etika bisnis merupakan penerapan tanggung jawab sosial suatu bisnis yang timbul dari dalam perusahaan itu sendiri. Seperti halnya manusia pribadi juga memiliki etika pergaulan antar manusia, maka pergaulan bisnis dengan masyarakat umum juga memiliki etika pergaulan yaitu etika pergaulan bisnis. Etika pergaulan bisnis dapat meliputi beberapa hal antara lain adalah :
a) Hubungan antara bisnis dengan langganan/konsumen
             Hubungan antara bisnis dengan langganannya merupakan hubungan yang paling banyak dilakukan. Oleh karena itu bisnis haruslah menjaga etika pergaulannya secara baik. Adapun pergaulannya dengan langganan disini yaitu seperti pemberian servis atau garansi, memberikan penjelasan mengenai produk, dll.
b) Hubungan dengan karyawan
          Manajer yang pada umumnya selalu berpandangan untuk memajukan bisnisnya sering kali harus berurusan dengan etika pergaulan dengan karyawan. Pergaulan bisnis dengan karyawan ini meliputi beberapa hal yaitu Penarikan, Latihan, Promosi atau kenaikan pangkat, Tranfer, Demosi atau penurunan pangkat. maupun Pemecatan/PHK. Didalam menarik tenaga kerja haruslah dijaga adanya penerimaan yang jujur sesuai dengan hasil seleksi yang telah dijalankan. Sering kali terjadi hasil seleksi tidak diperhatikan akan tetapi yang diterima adalah peserta yang berasal dari anggota keluarga sendiri.
c) Hubungan antar bisnis
           Hubungan ini merupakan hubungan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. Hal ini bisa terjadi hubungan antara perusahaan dengan para pesaing, grosir, pengecer, agen maupun distributor. Dalam kegiatan sehari-hari tentang hubungan tersebut sering terjadi benturan-benturan kepentingan antara keduanya. Dalam hubungan ini tidak jarang dituntut adanya etika pergaulan bisnis yang baik.
d) Hubungan dengan investor
          Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas dan terutama yang akan atau telah "go public" harus menjaga pemberian informasi yang baik dan jujur dari bisnisnya kepada para investor. Informasi yang tidak jujur akan menjerumuskan para investor untuk mengambil keputusan investasi yang keliru. Jangan sampai terjadi adanya manipulasi atau penipuan terhadap informasi tentang prospek perusahaan tersebut. 
e) Hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan
          Hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan terutama pajak pada umumnya merupakan hubungan pergaulan yang bersifat finansial. Hubungan ini merupakan hubungan yang berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan. Laporan finansial tersebut haruslah disusun secara baik dan benar sehingga tidak terjadi kecendrungan kearah penggelapan pajak atau sebagainya. Keadaan tersebut merupakan etika pergaulan bisnis yang tidak baik.
3. Kepedulian Pelaku Bisnis Terhadap Etika
          Para pelaku bisnis diharapkan dapat mengaplikasikan etika bisnis dalam menjalankan usahanya. Dengan adanya etika bisnis yang baik dari suatu usaham maka akan memberikan suatu nilai positif untuk perusahaannya. Hal ini sangatlah penting dami meningkatkan ataupun melindungi reputasi perusahaan tersebut sehingga bisnis yang dijalankan dapat berjalan dengan baik, bahkan dapat meningkatkan cangkupan bisnis yang terkait. Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah :
a) Pengendalian diri
            Pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain.
b)  Pengembangan Tanggung Jawab Sosial 
Pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab masyarakat sekitarnya.  Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian pelatihan keterampilan, dan lain sebagainya. 
c) Mempertahankan Jati Diri dan tidak mudah terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan TI.
          Bukan berarti etika bisnis anti pekembangan informasi dan terknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk kepentingan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
d) Menciptakan persaingan yang sehat
          Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya.
e) Menerapkan konsep "pembangunan berkelanjutan"
          Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang.
f) Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi)
          Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
g) Mampu menyatakan yang benar itu benar
h) Menumbuhkan sikap saling percaya
          Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan.
i) Konsekuen dan Konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama.

4. Perkembangan Dalam Etika Bisnis
Menurut K. Berten dalam buku nya Pengantar Etika Bisnis, perkembangan etika bisnis di bagi menjadi 5 periode yaitu :
1. Situasi Dahulu
Pada awal sejarah filsafat, plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur kehidupan manusia bersama dalam negara dan dalam konteks itu mereka membahas juga bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
2. Masa Peralihan: tahun 1960-an
Dalam tahun 1960-an terjadi perkembangan baru yang bisa dilihat sebagai persiapan langsung bagi timbulnya etika bisnis dalam dekade berikutnya. Dasawarsa 1960-an ini di Amerika Serikat ditandai oleh pemberontakan terhadap kuasa dan otoritas, revolusi mahasiswa, penolakan terhadap establishment. hal ini memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu dengan menambahkan mata kuliah baru dengan nama Business and Society.

3. Etika Bisnis lahir di Amerika Serikat: tahun 1970-an
 Etika bisnis sebagai suatu bidang intelektual dan akademis dengan identitas sendiri mulai terbentuk di Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis sekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat.

4. Etika Bisnis meluas ke Eropa: tahun 1980-an
Di Eropa Barat etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang sepuluh tahun kemudian. Pada tahun 1987 didirikan European Business Ethics Network (EBEN) yang bertujuan menjadi forum pertemuan antara akademis dari universitas serta sekolah bisnis, para pengusaha dan wakil-wakil dari organisasi nasional dan internasional.

5. Etika Bisnis menjadi fenomena global: tahun 1990-an
          Dalam dekade 1990-an etika bisnis tidak terbatas lagi pada dunia barat.Tanda bukti terakhir bagi sifat global etika bisnis adalah didirikannya International Society for Business, Economics, and Ethics (ISBEE) di Tokyo pada 25-28 Juli 1996.
6. Etika Bisnis Dan Akuntan
               Profesi Akuntan publik bisa dikatakan sebagai salah satu profesi kunci di era globalisasi untuk mewujudkan era transparansi bisnis yang fair, oleh karena itu kesiapan yang menyangkut profesionalisme mensyaratkan tiga hal utama yang harus dipunyai oleh setiap anggota profesi yaitu : keahlian, berpengetahuan dan berkarakter. Karakter menunjukan personality seorang profesional yang diantaranya diwujudkan dalam sikap dan tindakan etisnya. Sikap dan tindakan etin akuntan publik akan sangat menentukan posisinya di masyarakat pemakai jasa profesionalnya. Profesi juga dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta dengan melibatkan komitmen pribadi yang mendalam. Untuk menegakkan akuntansi sebagai sebuah profesi yang etis, dibutuhkan etika profesi dalam mengatur kegiatan profesinya. Etika profesi itu sendiri, dalam kerangka etika merupakan bagian dari etika sosial. Karena etika profesi menyangkut etika sosial, berarti profesi (dalam hal ini profesi akuntansi) dalam kegiatannya pasti berhubungan dengan orang/pihak lain (publik). Dalam menjaga hubungan baik dengan pihak lain tersebut akuntan haruslah dapat menjaga kepercayaan publik.
Contoh kasus Etika Profesi Akuntansi Mulyana W Kusuma - Anggota KPU 2004
Kasus anggota KPU ini terjadi pada tahun 2004, Mulyana W Kusuma yan menjadi seorang anggota KPU (Komisi Pemilihan Umum) diduga telah menyuap anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang ketika itu melaksanakan audit keuangan terhadap pengadaan logistik pemilu. Logistik pemili tersebut berupa kotak suara, amplop suara, surat suara, tinta, serta tekhnologi informasi. Setelah pemeriksaan dilaksanakan, BPK meminta untuk dilakukan suatu penyempurnaan laporan. Setelah penyempurnaan laporan dilakukan, BPK menyatakan bahwa laporan yang dihasilkan lebih baik dari laporan sebelumnya, kecuali mengenai laporan teknologi informasi. Maka disepakati laporan akan dilakukan periksaan kembali satu (1) bulan setelahnya.
Setelah satu bulan terlewati ternyata laporannya tak kunjung selesai dan akhirnya diberikan tambahan waktu. Di saat penambahan waktu ini terdengar kabar mengenai penangkapan Mulyana W Kusuma. Dia ditangkap karena tuduhan akan melakukan tindakan penyuapan kepada salah satu anggota tim auditor dari BPK, yaitu Salman Khairiansyah. Tim KPK bekerja sama dengan pihak auditor BPK dalam penangkapan tersebut. Menurut Khoiriansyah, dia bersama Komisi Pemberantas Korupsi mencoba merangkap usaha penyuapan yang dilakukan oleh Mulyana menggunakan perekam gambar pada 2 kali pertemuan.
Penangkapan Mulyana ini akhirnya menimbulkan pro-kontra. Ada pihak yang memberikan pendapat Salman turut berjasa dalam mengungkap kasus ini, tetapi lain pihak memberikan pendapat Salman tak sewajarnya melakukan tindakan tersebut karena hal yang dilakukan itu melanggar kode etik.
Sumber :
 http://adistipamula.blogspot.com/2013/10/perilaku-etika-dalam-bisnis.html
  http://destiaratih-blogsoftskill.blogspot.com/2012/10/tugas-wajib-2.html
http://nichonotes.blogspot.co.id/2015/01/contoh-kasus-etika-profesi-akuntansi.html



PENDAHULUAN ETIKA SEBAGAI TINJAUAN



1.      Pengertian Etika
Istilah “etika” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani adalah “ethos” yang berarti adat kebiasaan, cara berkipikir, sikap dan watak. Istilah etika pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Yunani, Aristoteles melalui karyanya yang berjudul Etika Nicomachiea. Buku tersebut berisikan tentang ukuran-ukuran perbuatan.
Kemudian diturunkan kata ethics (Inggris), etika (indonesia). Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), menjelaskan pengertian etika dengan membedakan tiga arti, yakni: Ilmu tentang apa yang baik dan buruk, kumpulan azas atau nilai, dan nilai mengenai benar dan salah.
Berikut ini merupakan pengertian etika menurut para ahli, sebagai berikut:
a.       Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat: Etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
b.      K. Bertens: Etika adalah nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Contohnya etika orang Jawa dan etika orang Sulawesi atau etika orang Bugis Makassar "Siri na Pacce"
c.       Karl Barth: Etika adalah sebanding dengan moral, dimana keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan.

Berdasarkan keterangan diatas, pengertian etika dapat disimpulkan sebagai berikut: “Etika adalah ilmu yang membahas tentang adat kebiasaan manusia yang dipandang dari segi baik dan buruk ataupun benar dan salah, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal”.

 2.      Prinsip-prinsip Etika
Berdasarkan buku yang berjudul “The Great Ideas“ yang diterbitkan pada tahun 1952, dalam buku tersebut diringkas menjadi 6 prinsip dan merupakan landasan prinsipil dari etika. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
a.       Prinsip keindahan
Prinsip yang didasari rasa senang terhadap keindahan,Berdasarkan prinsip ini, manusia memperhatikan nilai-nilai keindahan dan ingin menampakkan sesuatu yang indah dalam perilakunya. Misalnya dalam berpakaian, penataan ruang, dan sebagainya sehingga membuatnya lebih bersemangat untuk bekerja.
b.      Prinsip persamaan
Persamaan antara manusia yang satu dengan yang lain merupakan hakekat kemanusiaan. Setiap manusia pada hakikatnya memiliki hak dan tanggung jawab yang sama, sehingga muncul tuntutan terhadap persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, persamaan ras, serta persamaan dalam berbagai bidang lainnya. Prinsip ini melandasi perilaku yang tidak diskrminatif atas dasar apapun.
c.       Prinsip kebaikan
Prinsip ini mendasari perilaku individu untuk selalu berupaya berbuat kebaikan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip ini biasanya berkenaan dengan nilai-nilai kemanusiaan seperti hormat-menghormati, kasih sayang, membantu orang lain, dan sebagainya. Manusia pada hakikatnya selalu ingin berbuat baik, karena dengan berbuat baik dia akan dapat diterima oleh lingkungannya. Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sesungguhnya bertujuan untuk menciptakan kebaikan bagi masyarakat.
d.      Prinsip keadilan
Keadilan adalah kemauan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya mereka peroleh. Oleh karena itu, prinsip ini mendasari seseorang untuk bertindak adil dan proporsional serta tidak mengambil sesuatu yang menjadi hak orang lain.
e.       Prinsip kebebasan
Kebebasan muncul sebagai keleluasaan individu untuk bertindak atau tidak bertindak sesuai dengan pilihannya sendiri. Kebebasan manusia adalah kemampuan untuk menentukan sendiri, kesanggupan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya, syarat yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan pilihan-pilihannya beserta konsekuensi dari pilihan itu sendiri. Oleh karena itu tidak ada kebebasan tanpa tanggung jawab dan tidak ada tanggung jawab tanpa kebebasan. Semakin besar kebebasan yang kita miliki semakin besar pula tanggung jawab yang kita pikul.
f.       Prinsip kebenaran
Kebenaran biasanya digunakan dalam logika keilmuan yang muncul dari hasil pemikiran yang logis/rasional. Kebenaran harus dapat dibuktikan dan ditunjukkan agar kebenaran itu dapat diyakini oleh individu dan masyarakat. Tidak setiap kebenaran dapat diterima sebagai suatu kebenaran apabila belum dapat dibuktikan.
3.      Basis Teori Etika
1)      Etika Teleologi
Berasal dari kata Yunani adalah “telos” yang berarti tujuan. Tujuan dalam mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Terdapat dua aliran etika teleologi yang harus dipahami yaitu:
a)      Egoisme Etis
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yg bersifat vulgar.

b)      Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari bahasa latin adalah “utilis” yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja  satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar.
2)      Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata  Yunani adalah “deon” yang berarti kewajiban. ‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai buruk’, deontologi menjawab: ‘karena perbuatan pertama menjadi kewajiban  kita dan karena perbuatan kedua dilarang’. Yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting.
3)      Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi  baik buruknya  suatu perbuatan atau perilaku. Teori hak merupakan suatu aspek  dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis.
4)      Teori Keutamaan (Virtue)
Memandang  sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan sebagainya. Keutamaan bisa didefinisikan  sebagai berikut: disposisi watak  yang telah diperoleh  seseorang dan memungkinkan  dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Contoh keutamaan:
a.        Kebijaksanaan
b.        Keadilan
c.        Suka bekerja keras
d.        Hidup yang baik

4.      Egoism
Egoism merupakan suatu bentuk ketidak adilan kepada orang lain. Dengan arti lain, egoism adalah tindakan dari setiap orang untuk mempertahankan dan meningkatkan kepentingan pribadi atau untuk memajukan dirinya sendiri. Istilah lainnya yang sangat dikenal yaitu egois.
Egoism atau yang sering dikenal egois menurut saya tidak cocok dengan kegiatan manusia sebagai makhluk social, dikarenakan sangat dibutuhkan adanya sosialisasi dan saling menghargai untuk menjalani kehidupan sehari-hari utamanya dalam perkuliahan maupun pekerjaan.

5.      Contoh Kasus – Pendahuluan Etika dalam Tinjauan
·         Etika dalam Belajar
Dunia pendidikan sangat berkaitan erat dengan nilai-nilai etika. Dalam pendidikan yang didalamnya terdapat proses belajar mengajar, istilah etika menunjukkan posisinya sebagai landasan dasar yang penting. Bagaimana sikap dan tingkah laku seorang pendidik maupun yang dididik dalam proses penyampaian ilmu yang menentukan seberapa besar ilmu tersebut dapat terserap.
Etika dalam kaitanya dengan belajar dan mengajar bertujuan mengarahkan bagaimana proses belajar dan mengajar yang sebenarnya, tentu saja dengan adanya pedoman yang jelas, maka diharapkan dapat menghasilkan out put yang maksimal terutama para anak didik yang berilmu sekaligus beriman dan beretika. Dalam proses belajar mengajar tentunya diperlukan suatu tatanan dan keteraturan guna mencapai hasil yang maksimal. Etika disini mengambil peranan yang penting, karena dengannya peraturan dan tatanan terbentuk.
·         Etika Dokter terhadap Pasien
Terdapat 4 pasal yang menjelaskan “etika dokter terhadap pasien”, yaitu:
Ø  Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus, ikhlas dan mempergunakan segala ilmu   dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persutujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Penjelasan pasal 10, yaitu :
Sikap tulus, ikhlas yang dilandasi sikap profesional seorang dokter dalam melakukan tugasnya sangat diperlukan karena sikap ini akan menegakkan wibawa seorang dokter, memberikan kepercayaan dan ketenangan bagi   pasien, sehingga pasien bersikap kooperatif yang memudahkan dokter dalam   membuat diagnosis, dokter perlu pula bersikap ramah-tamah dan sopan   santun terhadap pasien. Dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan pasien dokter perlu didampingi oleh orang ketiga untuk mencegah tuduhan   terjadinya   kasus   pemerasan   terhadap   dokter   atau   pelecehan seksual.
Ø  Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasihatnya dalam beribadat atau dalam masalah lainnya.
Penjelasan pasal 11, yaitu :
Dokter yang bijaksana selalu mendalami latar belakang kehidapan pasiennya, termasuk aspek sosial, ekonomi, mental, intelektual, dan   spritualnya. Dokter berkewajiban menghormati agama dan keyakinan   pasiennya, termasuk adat-istiadat dan tradisi masyarakat setempat asal saja tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu kedokteran. Dokter perlu memberi  kesempatan bagi pasien untuk bertemu dengan orang-orang yang dikehendakinya dalam hal bertamu di rumah sakit.
Ø  Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Penjelasan pasal 12, yaitu :
Hubungan dokter dengan pasien adalah bersifat konfidensial, percaya-mempercayai dan hormat-menghormati, karena itu dokter berkewajiban memelihara suasana yang ideal tersebut, dengan antara lain memegang teguh rahasia jabatan dan pekerjaannya sebagai dokter.
Ø  Pasal 13
Setiap dokter wajib memberikan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
Penjelasan pasal 13, yaitu :
Setiap orang wajib melakukan pertolongan pertama kepada siapapun   yang mengalami kecelakaan atau sakit mendadak, apalagi seorang dokter. Pertolongan yang diberikan tentulah sesuai kemampuan masing-masing dan sesuai dengan sarana yang tersedia. Di negara-negara maju banyak dokter yang enggan memberikan pertolongan pertama, karena sering terjadi bahwa dokter dituntut mengganti kerugian pertolongan yang diberikan dianggap tidak tepat, menyebabkan cacat atau menimbulkan komplikasi, sehingga memperlambat penyembuhan. Di negara kita,tuntutan seperti itu diharapkan tidak terjadi, namun perlu di perhitungkan.




Sumber :

ETHICAL GOVERNANCE



A. Governance System
Sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata sistem dan pemerintahan. Kata sistem merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata-kata itu berarti:
• Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatu
• Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
• Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara.
Dalam arti yang sempit, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara.
Sistem pemerintahan diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
• Kekuasaan Eksekutif yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan pemerintahan.
• Kekuasaan Legislatif yang berate kekuasaan membentuk undang-undang.
• Kekuasaan Yudiskatif yang berarti kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran atas undang-undang.
Sistem pemerintahan negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antar-lembaga negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara yang bersangkutan.
Tujuan pemerintahan negara pada umumnya didasarkan pada cita-cita atau tujuan negara. Misalnya, tujuan pemerintahan negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Sehingga lembaga-lembaga yang berada dalam satu sistem pemerintahan Indonesia bekerja secara bersama dan saling menunjang untuk terwujudnya tujuan dari pemerintahan di negara Indonesia.
Sesuai dengan kondisi negara masing-masing, sistem ini dibedakan menjadi:
1. Presidensial (presidensiil), atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasanlegislatif.
2. Parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya
3. Komunis adalah istilah politik yang digunakan untuk mendeskripsikan bentuk pemerintahan suatu negara yang menganut sistem satu partai dan mendeklarasikan kesetiaan kepada komunisme (Marxisme, Leninisme, atau Maoisme)
4. Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi
5. Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan mayoritas
6. Capital artinya kepentingan modal masih berpengaruh kuat atau dominan dalam menentukan suatu kebijakan politik, ekonomi, sosial budaya.

B. Budaya Etika
Setiap negara memilki budaya yang berbeda-beda. Dalam setiap budaya, biasanya memiliki keunikan tersendiri. Budaya tidak hanya soal seni, tapi budaya juga diterapkan dalam etika. Budaya etika yang baik akan menghasilkan hal yang baik pula. Tidak hanya dalam kehidupan bermasyarakat, budaya etika juga harus diterapkan dalam berbagai bidang misalnya bisnis. Konsep etika bisnis tercermin pada corporate culture (budaya perusahaan). Menurut Kotler (1997) budaya perusahaan merupakan karakter suatu perusahaan yang mencakup pengalaman, cerita, kepercayaan dan norma bersama yang dianut oleh jajaran perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari cara karyawannya berpakaian, berbicara, melayani tamu dan pengaturan kantor.
Pendapat umum dalam bisnis bahwa perusahaan mencerminkan kepribadian pemimpinnya. Hubungan antara CEO dengan perusahaan merupakan dasar budaya etika. Jika perusahaan harus etis, maka manajemen puncak harus etis dalam semua tindakan dan kata-katanya. Manajemen puncak memimpin dengan memberi contoh. Perilaku ini adalah budaya etika.
Tugas manajemen puncak adalah memastikan bahwa konsep etikanya menyebar di seluruh organisasi, melalui semua tingkatan dan menyentuh semua pegawai. Hal tersebut dicapai melalui metode tiga lapis yaitu :
a. Menetapkan credo perusahaan
Merupakan pernyataan ringkas mengenai nilai-nilai etis yang ditegakkan perusahaan, yang diinformasikan kepada orang-orang dan organisasi-organisasi baik di dalam maupun di luar perusahaan.
b. Menetapkan program etika
Suatu sistem yang terdiri dari berbagai aktivitas yang dirancang untuk mengarahkan pegawai dalam melaksanakan lapis pertama. Misalnya pertemuan orientasi bagi pegawai baru dan audit etika.
c. Menetapkan kode etik perusahaan
Setiap perusahaan memiliki kode etiknya masing-masing. Kadang-kadang kode etik tersebut diadaptasi dari kode etik industri tertentu.

C. Mengembangkan Struktur Etika Korporasi
Membangun entitas korporasi dan menetapkan sasarannya. Pada saat itulah perlu prinsip-prinsip moral etika ke dalam kegiatan bisnis secara keseluruhan diterapkan, baik dalam entitas korporasi, menetapkan sasaran bisnis, membangun jaringan dengan para pihak yang berkepentingan (stakeholders) maupun dalam proses pengembangan diri para pelaku bisnis sendiri. Penerapan ini diharapkan etika dapat menjadi “hati nurani” dalam proses bisnis sehingga diperoleh suatu kegiatan bisnis yang beretika dan mempunyai hati, tidak hanya sekadar mencari untung belaka, tetapi juga peduli terhadap lingkungan hidup, masyarakat, dan para pihak yang berkepentingan (stakeholders).

D. Kode Perilaku Korporasi (Corporate Code of Conduct)
Code of Conduct adalah pedoman internal perusahaan yang berisikan sistem nilai, etika bisnis, etika kerja, komitmen, serta penegakan terhadap peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis, dan aktivitas lainnya serta berinteraksi dengan stakeholders.
Pembentukan citra yang baik terkait erat dengan perilaku perusahaan dalam berinteraksi atau berhubungan dengan para stakeholder. Perilaku perusahaan secara nyata tercermin pada perilaku pelaku bisnisnya. Dalam mengatur perilaku inilah, perusahaan perlu menyatakan secara tertulis nilai-nilai etika yang menjadi kebijakan dan standar perilaku yang diharapkan atau bahkan diwajibkan bagi setiap pelaku bisnisnya. Pernyataan dan pengkomunukasian nilai-nilai tersebut dituangkan dalam code of conduct.
Di dalam Perilaku korporatif, peran pemimpin sangat penting antara lain :
1. First Adapter, penerima dan pelaksana pertama dari budaya kerja
2. Motivator, untuk mendorong insan organisasi/korporasi melaksanakan budaya kerja secara konsisten dan konsekuen
3. Role Model, teladan bagi insan korporasi terhadap pelaksanaan budaya kerja
4. Pencetus dan pengelola strategi, dan program budaya kerja sesuai kebutuhan korporasi.

E. Evaluasi Terhadap Kode Perilaku Korporasi
Evaluasi terhadap kode perilaku korporasi dapat dilakukan dengan melakukan evaluasi tahap awal (Diagnostic Assessment) dan penyusunan pedoman-pedoman. Pedoman Good Corporate Governance disusun dengan bimbingan dari Tim BPKP dan telah diresmikan pada tanggal 30 Mei 2005. Evaluasi sebaiknya dilakukan secara rutin sehingga perusahaan selalu berada dalam pedoman dan melakukan koreksi apabila diketahui terdapat kesalahan.

vContoh Kasus Ethical Governance
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil terus menata kotanya. Tak seperti pejabat di propinsi tetangga yang dengan sangat arogan menggusur warganya yang sudah menghuni puluhan tahun, Kang Emil -begitu beliau akrab disapa- melakukan pendekatan yang sangat manusiawi kepada warga kota Bandung.
"Hari ini berdiskusi panjang dengan PKL jalan Dayang Sumbi mencari solusi. Alhamdulillah setelah 30 tahun di situ yang zona merah mereka mau menerima solusi relokasi ke tempat baru yang dekat dan saling menguntungkan," tutur Kang Emil di laman facebooknya, Kamis 27 Agustus 2015.
"Sebelum itu saya mengecek progres revitalisasi tepian Cikapundung agar selesai tepat waktu dan warga Bandung bisa berinteraksi di pinggir Sungai yang bersih dan nyaman," ujar Kang Emil.
"Sebelumnya lagi melakukan Sapa Warga di Bandung Kidul. Hatur Nuhun," tutupnya.
Langkah Kang Emil ini mendapat simpati warga dan ribuan netizen yang menyematkan jempol “like” di facebook.
"Pemimpin yang tidak penuh janji..namun penuh dengan bukti.. menenangkan rakyat tanpa perlu emosi namun dengan rendah hati dan diskusi......good luck kang emil...," komen netizen Yusup Hendrawan.
"Ada 10 orang aja pemimpin kayak kang Emil ini, inshaa Allah indonesia jadi negara terindah di dunia ini,” ujar netizen Soharudin.
Komentar senada dari 833 netizen mengapresiasi Kang Emil.

vOpini Kasus:
Budaya etika yang baik akan menghasilkan hal yang baik pula. Tidak hanya dalam kehidupan bermasyarakat, budaya etika juga harus diterapkan dalam berbagai bidang, salah satunya yaitu etika dalam pemerintahan. Pemerintah boleh mengatur rakyatnya, tapi jangan bertindak diktaktor dan arogan dalam membuat keputusan.
Dalam kasus diatas yang dapat diambil pelajaran adalah, dalam beretika pemerintah harus bersahabat dengan rakyatnya. Dapat melakukan cara-cara yang elegan dan lebih manusiawi seperti musyawarah dan diskusi baik-baik untuk menerapkan sebuah kebijakan, tidak bertindak secara arogan, ekstrem, dan dengan cara kekerasan.

Sumber:
https://dianmei.wordpress.com/2013/10/23/governance-system/
http://milasari0.blogspot.co.id/2013/10/ethical-governance.html
http://fadhiladrian88.blogspot.co.id/2014/10/ethical-governance.html
http://yuyunchelsea.wordpress.com/2014/01/03/etika-governance/
http://iraparamita.blogspot.com/2014/01/etika-governance.html
http://herikurniawan19.wordpress.com/2014/01/04/tugas-3-etika-governance/
http://windawynda.blogspot.co.id/2014/10/etika-governance.html
http://www.pkspiyungan.org/2015/08/cara-manusiawi-ridwan-kamil-gusur-pkl.html
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/12/07/19341471/.Ahok.Perlu.Belajar.dari.Ridwan.Kamil

Selasa, 06 Januari 2015

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM

 Pengertian instruksional umum

Kegiatan belajar-mengajar atau kegiatan pengajaran sering juga disebut dengan istilah Instruksional. Dari istilah “instruksional” ini kemudian muncul istilah “tujuan instruksional”. Soemarsono dalam bukunya “Tujuan Instruksional”, – sebagaimana yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto – mendefenisikan tujuan instruksional sebagai tujuan yang menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur. Selanjutnya tujuan instruksional ini dibagi menjadi dua macam, yaitu Tujuan Instruksional Umum (TIU), dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK).


Dalam bahasa Inggris terdapat sejumlah istilah yang menyatakan tujuan yang bersifat umum, seperti “aim”, “general purpose”, “goal”, dan sebagainya. Sedangkan dalam Prosedur Pengembangann Sistem Instruksional (PPSI) biasa disebut dengan Tujuan Instruksional Umum atau disingkat TIU. Adapun yang dimaksud dengan Tujuan Instruksional Umumadalah suatu kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional untuk memperoleh jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh peserta didik, (yang mana) jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis besar. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tujuan Instruksional Umum hanya menggariskan hasil-hasil yang bersifat umum pada kegiatan belajar dari setiap mata pelajaran yang harus dicapai oleh setiap peserta didik


Jika kita berbicara tentang tujuan umum, biasanya sering terjebak ke dalam kalimat indah dan muluk kedengarannya, tetapi akan menemui kesukaran bila hendak diwujudkan karena menimbulkan tafsiran yang aneka ragam menurut pandangan masing-masing. Misalnya tujuan: “menjadi manusia yang baik”, “yang bertanggungjawab”, “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”, “yang mengabdi kepada masyarakat”, dan sebagainya. Tujuan yang umum seperti itu sangat kabur dan tidak bisa diukur tingkat keberhasilannya, bahkan berpotensi melahirkan macam-macam tafsiran. Kita tidak tahu dengan jelas apa yang dimaksud dengan “baik”, “bertanggungjawab” atau “mengabdi kepada masyarakat”. Oleh sebab itu TIU harus dianalisis sebagai bersifat umum, dan karena itu tidak memberi pegangan yang mantap untuk menentukan bahan, strategi penyajian, maupun penilaian. Untuk itu, Tujuan Instruksional Umum harus dijabarkan secara khusus ke dalam Tujuan Instruksional Khusus.


Dalam dunia pendidikan dikenal sejumlah usaha untuk menguraikan tujuan yang sangat umum ini. Salah seorang di antaranya ialah Herbert Spencer (1860) yang menganalisis tujuan pendidikan dalam lima bagian yang berkenaan dengan:

    Kegiatan demi kelangsungan hidup.
    Usaha mencari nafkah.
    Pendidikan anak.
    Pemeliharaan hubungan dengan masyarakat dan negara.
    Penggunaan waktu senggang.

Hasil analisis Herbert Spencer di atas masih sangat umum dan perlu diuraikan lebih lanjut. Tokoh yang pertama berusaha memperinci tujuan pendidikan secara sistematis adalahFranklin Bobbitt. Dalam bukunya How to Make a Curiculum (1924) ia mengemukakan cara yang sistematis tentang menentukan tujuan pendidikan, yakni dengan meneliti kegiatan-kegiatan manusia dewasa dalam kehidupan masyarakat. Ia menemukan 10 kelompok kegiatan utama yang banyak kesamaannya dengan penggolongan Herbert Spencer. Akan tetapi Franklin Bobbitt menguraikannya lebih lanjut menjadi 10 bidang yang lebih khusus. Usahanya itu dijuluki orang pada waktu itu sebagai permulaan “gerakan ilmiah” dalam pembinaan kurikulum, karena menurut pendapat mereka kurikulum serupa itu didasarkan atas penelitian. Dan sejak saat itu timbullah kurikulum dengan tujuan-tujuan yang lebih terinci. Setiap kurikulum diisertai oleh tujuan-tujuan khusus sebagai hasil analisis dari tujuan-tujuan yang lebih umum. Namun meski begitu, analisis yang mereka lakukan belum sampai kepada taraf analisis dan rumusan tujuan khusus seperti yang dituntut dalam teknologi pendidikan sekarang yakni sebagai tujuan berbentuk perilaku peserta didik yang dapat diamati dan diukur keberhasilannya setelah memperoleh suatu pelajaran.


Adapun manfaat dalam menentukan tujuan instruksional; baik tujuan instruksional umummaupun khusus di antaranya:

    Menentukan tujuan (objective) proses belajar mengajar
    Menentukan persyaratan awal instruksional
    Merancang strategi instruksional
    Memilih media pembelajaran
    Menyusun instrumen tes pada proses evaluasi (pre-tes dan post-tes)
    Melakukan tindakan perbaikan atau improvement pembelajaran

A. Kriteria Perumusuan Tujuan Instruksional Umum
Benjamin S. Bloom membagi tujuan instruksional menjadi tiga kawasan menurut jenis kemampuan yang tercantum di dalamnya. Tujuan yang mempunyai titik berat kemampuan berfikir disebut tujuan dalam kawasan Kognitif. Yang termasuk dalam kawasan kognitif adalah kemampuan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi sesuatu. Adapun tujuan yang mempunyai fokus keterampilan melakukan gerak fisik disebut tujuan dalam kawasan Psikomotor. Yang termasuk dalam kawasan psikomotor adalah kemampuan meniru melakukan suatu gerak, memanipulasi gerak, merangkaikan berbagai gerak, melakukan gerakan dengan tepat dan wajar. Sementara tujuan instruksional ketiga adalah kawasan Efektif, yakni yang berintikan kemampuan bersikap.
Tujuan instruksional dalam kawasan mana pun harus dirumuskan dalam kalimat dengan kata kerja dan opreasional, serta yang menunjukkan kegiatan yang dapat dilihat. Kalimat “Siswa akan dapat menjelaskan atau menguraikan sesuatu” lebih tepat digunakan daripada “Siswa dapat mengerti, memahami, atau mengetahui sesuatu”.

Perhatikan contoh di bawah ini:

    Siswa akan dapat menggunakan dengan baik program Microsoft Office untuk membuat data dalam mata pelajaran Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK).
    Siswa akan dapat menyusun rekapitulasi data adminstrasi keuangan dengan menggunakan program Microsoft Office.
    Siswa akan dapat mendemonstrasikan lompat tinggi gaya flop (suatu lompat tinggi yang digunakan kebanyakan juara saat ini).

Ketiga contoh Tujuan Instruksional Umum (TIU) di atas masing-masing terdiri  atas 4 (empat) bagian, yaitu
1. Orang yang belajar.
Dalam kalimat-kalimat di atas orang belajar adalah siswa, bukan pengajar atau bukan orang lain. Tujuan memang harus berorientasi kepada siswa. Seringkali pengajar atau pengelola pendidikan yang lain membuat perumusan yang berorientasi kepada mereka sendiri sepertu dua contoh berikut:

    Tujuan pelajaran ini adalah mengajarkan cara mengoperasikan Microsoft Office dalam membuat data pada komputer;
    Program ini akan membahas secara mendalam tentang fungsi dan kegunaan program Microsoft Office dalam komputer.

Kedua contoh perumusan tujuan tersebut di atas tidak memperhatikan apa yang akan dicapai oleh siswa atau peserta didik. Keduanya dapat ditafsirkan bahwa sepanjang pengajar membahas atau mengajarkan pelajaran yang dimaksud atau program pengajaran berisi pelajaran tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun peserta didik belum dapat melakukan apa-apa.

2. Istilah yang digunakan adalah “akan dapat” bukan dapat atau sudah dapat.
Kalimat “akan dapat” menunjukkan bahwa tujuan instruksional dirumuskan sebelum peserta didik mulai belajar. Dan tujuan itu akan dicapai setelah proses belajar. Istilah “akan dapat” itu dihubungkan dengan kata kerja yang menunjukkan hasil belajar bukan kata kerja yang berorientasi kepada proses belajar seperti (siswa) mempelajar, membaca. Tujuan harus berorientasi kepada hasil belajar, bukan kepada proses belajar. Dengan demikian, bila ada perumusan tujuan yang berbunyi: “Siswa akan mempelajari teknik pengoperasian Microsoft Office dalam membuat data di Komputer”, dapat ditafsirkan bahwa sepanjang siswa telah melakukan proses tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun siswa belum berhasil “memahami” apa yang telah dipelajarinya sebagai suatu tujuan. Padahal yang penting bukanlah siswa telah melakukan proses belajar tertentu, tetapi menunjukkan hasil belajar tertentu.

3.   Memilih kata kerja aktif dan dapat diamati.
Kata kerja dalam tujuan instruksional haruslah berbentuk kata kerja aktif dan dapat diamati, seperti menyusun, menggunakan atau mendemonstrasikan. Bandingkanlah dengan kata kerja memahami, mengetahui, dan merasakan yang tidak dapat diamati oleh mata serta tidak bisa diukur ketercapaiannya. Kata “mengetahaui” atau “memahami” dapat berarti “menjelaskan” atau dapat pula berarti “melakukan”. Kemampuan menjelaskan danmelakukan sangat besar bedanya. Karena itu, istilah “memahami” disebut tidak jelas dan tidak pasti karena berarti mengandung banyak pengertian, sehingga perlu dihindari.

4. Tujuan instruksional mengandung objek seperti penggunaan microsoft office, penyusunan data dalam microsoft office, dan lompat tinggi.
Bagian ketiga dan keempat dari tujuan instruksional yang berupa kata kerja dan objek adalah perilaku (behavior) yang diharapkan dikuasai peserta didik pada akhir proses belajarnya. Itulah sebabnya tujuan instruksional sering disebut tujuan yang bersifat prilaku (behavior objective). Ia disebut pula tujuan penampilan (performance objective) karena akan ditampilkan peserta didik setelah proses belajar.
Bagian ketiga dan keempat dari tujuan instruksional ini merupakan bagian yang sangat penting. Berdasarkan kedua bagian tersebut akan disusun tes dan strategi instruksional, termasuk metode, media, dan isi pelajaran. Karena itu, ketidakjelasan perumusan tujuan instruksional akan mengakibatkan ketidakjelasan dasar penyusunan komponen sistem instruksional yang lain. Di samping itu, kegiatan merumuskan tujuan instruksional merupakan salah satu wujud tanggungjawab seorang pengajar untuk dapat mengatakan atau orang lain menilai apakah ia berhasil atau belum berhasil mencapai tujuannya.
Tujuan instruksional di samping berfungsi sebagai sesuatu yang akan dicapai, berfungsi pula sebagai kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan instruksional. Oleh karena itu, seorang pengajar yang merumuskan tujuan instruksionalnya sebelum mulai proses pengajaran dapat dipandang sebagai pengajar yang bersedia mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalannya dalam mengajar. Atas dasar kriteria itu pula seorang pengajar dapat menentukan kapan ia harus memperbaiki efektifitas pengajarannya.
Jika ada yang beranggapan bahwa seorang pengajar tidak perlu merumuskan tujuan, tapi cukup mengajar dengan sungguh-sungguh saja, kemudian lakukan tes atau evaluasi, maka ini merupakan anggapan yang keliru. Sebab, pengajaran tanpa perumusan tujuan   instruksional secara jelas akan mempunyai implikasi tidak menentunya standar mutu pelajaan dan mutu lulusan program tersebut.
Tujuan instruksional umum (TIU) suatu mata pelajaran mungkin lebih dari satu, tetapi keduanya pasti berhubungan. Dalam hal seperti itu, TIU harus diurut dari perilaku yang harus atau sebaliknya dikuasai lebih dulu baru disusul dengan yang lainnya. Urutan ini akan menjadi petunjuk dalam menentukan urutan isi pelajaran/
Banyaknya TIU tergantung kepada kompleksitas dan ruang lingkup pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang akan dipelajari mahasiswa dalam mata pelajaran tersebut. Sebagai patokan umum mungkin sekitar 3 – 5 buah. Jumlah TIU yang terlalu banyak mungkin akan mengakibatkan sulitnya pengelolaan kegiatan instruksional. Walaupun demikian, tidak ada patokan yang dapat disetujui oleh semua orang tentang jumlah TIU ini.
Setelah merumuskan seluruh TIU tersebut dengan baik, maka selanjutkan seorang pengajar haruslah melakukan evaluasi terhadap kemungkinan ketercapaian dalam rumusan TIU itu, termasuk kendala-kendala yang akan dihadapi dalam melaksanakannya. Apabila ternyata tidak ditemukan kendala, maka TIU tersebut sudah dapat digunakan sebagai dasar pengembangan instruksional lebih lanjut. Namun jika ternyata akan diyakini memiliki kendala, maka TIU itu harus direvisi terlebih dahulu.

A. Taksonomi Tujuan Pendidikan
Kata Taksonomi diambil dari bahasa Yunani tassein yang berarti untuk mengklasifikasi dannomos yang berarti aturan. Taksonomi dapat diartikan sebagai klasifikasi berhirarki dari sesuatu, atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Hampir semua — benda bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian — dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi Dalam dunia pendidikan, taksonomi ini dibuat guna mengklasifikasikan tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom dan kawan-kawan pada tahun 1956, sehingga sering pula disebut sebagai “Taksonomi Bloom”. Taksonomi tujuan pendidikan ini sangat penting bagi tenaga pendidik agar memperoleh hasil yang maksimal.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa taksonomi tujuan instruksional membagi tujuan pendidikan dan instruksional ke dalam tiga domain (ranah/kelompok), yaitu ranah kognitif (kognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor(psychomotor domain). Adapun Cognitive Domain (Ranah Kognitif) yakni yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Sementara Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Sedangkan Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik,berenang, dan mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di atas di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu:cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, danpengamalan.

B. Taksonomi Tujuan Kognitif
Taksonomi Bloom sangat dikenal di Indonesia, bahkan tampaknya yang paling terkenal dibandingkan dengan Taksonomi lainnya. Taksonomi Bloom mengelompokkan tujuan kognitif ke dalam enam kategori; yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Keenam kategori ini diasumsikan bersifat hierarkis; yang berarti tujuan pada level yang tinggi dapat dicapai hanya apabila tujuan pada level yang lebih rendah telah dikuasai. Keenam kategori ini secara umum akan dijelaskan berikut ini:
1. Pengetahuan/pengenalan.
Tujuan instruksional pada level ini menuntut peserta didik untuk mampu mengingat (recall) informasi yang telah diterima sebelumnya. Misalnya: fakta, terminology, rumus, strategi pemecahan masalah, dan sebagainya.
2. Pemahaman.
Tujuan pada kategori ini berhubungan dengan kemampuan untuk menjelaskan pengetahuan/informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Dalam hal ini peserta didik diharapkan untuk menerjemahkan atau menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri. Kata kerja yang diperoleh harus operasional, dengan pengertian bahwa kompetensi dan perilaku tersebut dapat diukur unjuk kerjanya. Hal ini penting untuk menunjukkan apakah tujuan instruksional yang ditetapkan dapat tercapai atau tidak pada akhir pembelajaran.
3. Penerapan.
Penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke dalam situasi atau konteks yang lain atau yang baru. Sebagai contoh, menyusun kuesioner penelitian untuk penulisan skripsi merupakan penerapan prinsip-prinsip penyusunan instrument penelitian yang sebelumnya telah dipelajari mahasiswa dalam mata kuliah metode penelitian.
4. Analisis
Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau kesimpulan, dan memeriksa setaip komponen tersebut untuk melihat ada tidaknya kontradiksi. Dalam hal ini peserta didik diharapkan untuk menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari. Sebagai contoh, pembuatan kritik suatu karya literatur atau seni merupakan analisis. Tugas seperti ini memerlukan kemampuan analisis sebab menuntut peserta didik untuk membuat tanggapan terhadap berbagai aspek, seperti tema, plot, derajat realisme, dan sebagainya, serta melihat hubungan di antara aspek-aspek tersebut.
5. Sintesis
Tujuan instruksional level ini menuntut mahasiswa untuk mampu mengkombinasikan bagian atau elemen ke dalam satu kesatuan atau struktur yang lebih besar. Menulis esay tentang “Perwujudan Bhineka Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia” merupakan contoh sintesis. Dalam hal ini mahasiswa harus melihat berbagai aspek social, budaya dan ekonomi dalam kelompok etnis. Misalnya system kekerabatan, system keagamaan, dan sebagainya, dan kemudian membandingkan perwujudan berbagai aspek tersebut dan membuat kesimpulan.
6. Evaluasi
Tujuan ini merupakan tujuan yang paling tinggi tingkatnya, yang mengharapkan mahasiswa mampu membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk, atau benda dengan menggunakan kriteria terntu. Sebagai contoh, kemampuan mengevaluasi suatu program video apakah memenuhi syarat sebagai program instruksional yang baik atau tidak, merupakan tujuan tingkat evaluasi. Dalam hal ini mahasiswa harus mempertimbangkan dari segi isi, strategi, presentasi, budaya, karakteristik pengguna, dan sebagainya. Di samping itu kriteria program yang baik harus terlebih dahulu jelas bagi mahasiswa.

C. Taksonomi Tujuan Afektif
Bagian berikut ini akan membahas tentang taksonomi tujuan afektif. Taksonomi afektif yang paling terkenal dikembangkan oleh Krathwohl, dkk. Pada dasarnya Krathwohl berusaha mengembangkan taksonomi ini ke dalam lima tingkat perilaku. Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964) mengembangkan taksonomi tujuan yang berorientasikan kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses seseorang di dalam mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku. Krathwohl mengelompokkan tujuan afektif ke dalam lima kelompok, yaitu:

    Pengenalan/Penerimaan (receiving)
    Pemberian respon (responding)
    Penghargaan terhadap nilai (valuing)
    Pengorganisasian (organization)
    Pengamalan (characterization)

Pengelompokkan ini juga bersifat hierarkhis, dengan pengenalan sebagai tingkat yang paling rendah (sederhana) dan pengamalan sebagai tingkat paling tinggi. Makin tinggi tingkat tujuan dalam hierarkhi semakin besar pula keterlibatan dan komitmen seseorang terhadap tujuan tersebut.
1. Pengenalan/Penerimaan (receiving)
Tujuan instruksional kelompok ini mengharapkan mahasiswa untuk mengenal, bersedia menerima dan memperhatikan berbagai stimulus. Dalam hal ini mahasiswa masih bersikap pasif, sekedar mendengarkan atau memperhatikan saja. Contoh kata kerja operasionalnya adalah: Mendengarkan, Menghadiri, Melihat, Memperhatikan, dan sebagainya.
2. Pemberian respon (responding)
Keinginan untuk berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda, atau system nilai, lebih daripada sekedar pengenalan saja. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan prilaku yang diminta, misalnya berpartisipasi, patuh atau memberikan tanggapan secara sukarela bila diminta.
3. Penghargaan terhadap nilai (valuing)
Penghargaan terhadap suatu nilai merupakan perasaan, keyakinan atau anggapan bahwa suatu gagasan, benda atau cara berfikir tertentu mempunyai nilai (worth). Dalam hal ini mahasiswa secara konsisten berprilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun tidak ada pihak lain yang meminta, atau mengharuskan. Nilai dan value ini dapat saja dipelajari dari orang lain. Misalnyan dosen, teman atau keluarga.
4. Pengorganisasian (organization)
Pengorganisasian menunjukkan saling berhubungan antara nilai-nilai tertentu dalam suatus sistem nilai, serta menentukan nilai mana yang mempunyai prioritas lebih tinggi daripada nilai yang lain. Dalam hal ini mahasiswa menjadi committed terhadap suatu sistem nilai. Dia diharapkan untuk mengorganisasikan berbagai nilai yang dipilihnya ke dalam satu sistem nilai, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai tersebut.
5. Pengamalan (characterization)
Pengamalan berhubungan dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai ke dalam suatu sistem nilai pribadi. Hal ini diperlihatkan melalui perilaku yang konsisten dengan sistem nilai tersebut. Pada tingkat ini mahasiswa bukan saja telah mencapai perilaku-perilaku pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, tetapi telah mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam suatu filsafat hidup yang lengkap dan menyakinkan, dan prilakunya akan selalu konsisten dengan filsafat hidup tersebut. Filsafat hidup tersebut merupakan bagian dari karakter.
D.      Taksonomi Tujuan Psikomotor
Dari contoh-contoh tujuan afektif ini terlihat bahwa pada tingkat-tingkat yang tinggi (valuing, organization dan characterization) perilaku yang merupakan indikator tercapainya tujuan-tujuan tersebut overlapping dan tidak dapat dipisahkan dengan  tegas. Ini menunjukkan bahwa meskipun secara konseptual tingkat-tingkat tersebut dapat dipisahkan dan nampaknya mempunyai hubungan hierarkhis, perumusan tujuan tidak dapat dengan jelas dibedakan. Hal ini pula-lah yang membuat tujuan afektif menjadi sulit dievaluasi apakah tercapai atau tidak.

Kawasan psikomotor pada tahun 1956 kurang mendapat perhatian dari Bloom dan kawan-kawannya karena mereka tidak percaya bahwa pengembangan tujuan dalam kawasan tersebut sangat berguna. Tetapi mereka menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam kawasan ini berkenaan dengan otot, keterampilan motorik, atau gerak yang membutuhkan koordinasi otot.
Namun beberapa pakar lain berhasil mengembangkan taksonomi kawasan psikomotor, salah satunya dikembangkan oleh Harrow (1972). Taxonomy Harrow ini juga menyusun tujuan psikomotor secara hierarkhis dalam lima tingkat, mencakup tingkat meniru sebagai yang paling sederhana dan naturalisasi sebagai yang paling kompleks.
1. Meniru (Immitation)
Tujuan instruksional pada tingkat ini mengharapkan mahasiswa untuk dapat meniru suatu prilaku yang dilihatnya.
2. Manipulasi (Manipulation)
Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan untuk melakukan suatu prilaku tanpa bantuan visual, sebagaimana pada tingkat meniru. Mahasiswa diberi petunjuk berupa tulisan atau instruksi verbal, dan diharapkan melakukan tindakan (prilaku) yang diminta. Contoh kata kerja yang digunakan sama dengan untuk kemampuan meniru.
3. Ketetapan Gerakan (Pecision)
Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat, seimbang, dan akurat.
4. Artikulasi (Artikulation)
Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan serangkaian gerakan dengan akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat.
5. Naturalisasi (Naturalization)
Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan gerakan tertentu secara spontan atau otomatis. Mahasiswa melakukan gerakan tersebut tanpa berfikir lagi cara melakukannya dan urutannya.
Dari ketiga kawasan tujuan pendidikan di atas, yang paling banyak mendapatkan perhatian pada jenjang pendidikan tinggi adalah kawasan kognitif. Di dalam kawasan kognitif yang paling penting adalah jenjang analisis sintesis dan evaluasi, karena sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah.
Tapi sesungguhnya pengklasifikasian ini tidak dimaksudkan untuk memilah-milah prilaku manusia seperti halnya kita mencopoti kursi menjadi bagian-bagiannya, melainkan hanyalah sebagai usaha pakar dalam menganalisis prilaku peserta ddik agar memungkinkan pengembangan usaha-usaha pendidikan secara lebih sistematis. Dan dengan mengetahui titik berat kawasan prilaku tersebut, tenaga pendidik dapat menyusun rencana dan program pendidikan yang lebih terarah kepada tujuan pendidikan yang dimaksud dan lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Sumber : http://husnyarifuddin.blogspot.com/2012/11/3-tujuan-instruksional-umum.html