Selasa, 06 Januari 2015

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM

 Pengertian instruksional umum

Kegiatan belajar-mengajar atau kegiatan pengajaran sering juga disebut dengan istilah Instruksional. Dari istilah “instruksional” ini kemudian muncul istilah “tujuan instruksional”. Soemarsono dalam bukunya “Tujuan Instruksional”, – sebagaimana yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto – mendefenisikan tujuan instruksional sebagai tujuan yang menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh siswa sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur. Selanjutnya tujuan instruksional ini dibagi menjadi dua macam, yaitu Tujuan Instruksional Umum (TIU), dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK).


Dalam bahasa Inggris terdapat sejumlah istilah yang menyatakan tujuan yang bersifat umum, seperti “aim”, “general purpose”, “goal”, dan sebagainya. Sedangkan dalam Prosedur Pengembangann Sistem Instruksional (PPSI) biasa disebut dengan Tujuan Instruksional Umum atau disingkat TIU. Adapun yang dimaksud dengan Tujuan Instruksional Umumadalah suatu kegiatan mengidentifikasi kebutuhan instruksional untuk memperoleh jenis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang tidak pernah dipelajari atau belum dilakukan dengan baik oleh peserta didik, (yang mana) jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap tersebut masih bersifat umum atau garis besar. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tujuan Instruksional Umum hanya menggariskan hasil-hasil yang bersifat umum pada kegiatan belajar dari setiap mata pelajaran yang harus dicapai oleh setiap peserta didik


Jika kita berbicara tentang tujuan umum, biasanya sering terjebak ke dalam kalimat indah dan muluk kedengarannya, tetapi akan menemui kesukaran bila hendak diwujudkan karena menimbulkan tafsiran yang aneka ragam menurut pandangan masing-masing. Misalnya tujuan: “menjadi manusia yang baik”, “yang bertanggungjawab”, “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”, “yang mengabdi kepada masyarakat”, dan sebagainya. Tujuan yang umum seperti itu sangat kabur dan tidak bisa diukur tingkat keberhasilannya, bahkan berpotensi melahirkan macam-macam tafsiran. Kita tidak tahu dengan jelas apa yang dimaksud dengan “baik”, “bertanggungjawab” atau “mengabdi kepada masyarakat”. Oleh sebab itu TIU harus dianalisis sebagai bersifat umum, dan karena itu tidak memberi pegangan yang mantap untuk menentukan bahan, strategi penyajian, maupun penilaian. Untuk itu, Tujuan Instruksional Umum harus dijabarkan secara khusus ke dalam Tujuan Instruksional Khusus.


Dalam dunia pendidikan dikenal sejumlah usaha untuk menguraikan tujuan yang sangat umum ini. Salah seorang di antaranya ialah Herbert Spencer (1860) yang menganalisis tujuan pendidikan dalam lima bagian yang berkenaan dengan:

    Kegiatan demi kelangsungan hidup.
    Usaha mencari nafkah.
    Pendidikan anak.
    Pemeliharaan hubungan dengan masyarakat dan negara.
    Penggunaan waktu senggang.

Hasil analisis Herbert Spencer di atas masih sangat umum dan perlu diuraikan lebih lanjut. Tokoh yang pertama berusaha memperinci tujuan pendidikan secara sistematis adalahFranklin Bobbitt. Dalam bukunya How to Make a Curiculum (1924) ia mengemukakan cara yang sistematis tentang menentukan tujuan pendidikan, yakni dengan meneliti kegiatan-kegiatan manusia dewasa dalam kehidupan masyarakat. Ia menemukan 10 kelompok kegiatan utama yang banyak kesamaannya dengan penggolongan Herbert Spencer. Akan tetapi Franklin Bobbitt menguraikannya lebih lanjut menjadi 10 bidang yang lebih khusus. Usahanya itu dijuluki orang pada waktu itu sebagai permulaan “gerakan ilmiah” dalam pembinaan kurikulum, karena menurut pendapat mereka kurikulum serupa itu didasarkan atas penelitian. Dan sejak saat itu timbullah kurikulum dengan tujuan-tujuan yang lebih terinci. Setiap kurikulum diisertai oleh tujuan-tujuan khusus sebagai hasil analisis dari tujuan-tujuan yang lebih umum. Namun meski begitu, analisis yang mereka lakukan belum sampai kepada taraf analisis dan rumusan tujuan khusus seperti yang dituntut dalam teknologi pendidikan sekarang yakni sebagai tujuan berbentuk perilaku peserta didik yang dapat diamati dan diukur keberhasilannya setelah memperoleh suatu pelajaran.


Adapun manfaat dalam menentukan tujuan instruksional; baik tujuan instruksional umummaupun khusus di antaranya:

    Menentukan tujuan (objective) proses belajar mengajar
    Menentukan persyaratan awal instruksional
    Merancang strategi instruksional
    Memilih media pembelajaran
    Menyusun instrumen tes pada proses evaluasi (pre-tes dan post-tes)
    Melakukan tindakan perbaikan atau improvement pembelajaran

A. Kriteria Perumusuan Tujuan Instruksional Umum
Benjamin S. Bloom membagi tujuan instruksional menjadi tiga kawasan menurut jenis kemampuan yang tercantum di dalamnya. Tujuan yang mempunyai titik berat kemampuan berfikir disebut tujuan dalam kawasan Kognitif. Yang termasuk dalam kawasan kognitif adalah kemampuan mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi sesuatu. Adapun tujuan yang mempunyai fokus keterampilan melakukan gerak fisik disebut tujuan dalam kawasan Psikomotor. Yang termasuk dalam kawasan psikomotor adalah kemampuan meniru melakukan suatu gerak, memanipulasi gerak, merangkaikan berbagai gerak, melakukan gerakan dengan tepat dan wajar. Sementara tujuan instruksional ketiga adalah kawasan Efektif, yakni yang berintikan kemampuan bersikap.
Tujuan instruksional dalam kawasan mana pun harus dirumuskan dalam kalimat dengan kata kerja dan opreasional, serta yang menunjukkan kegiatan yang dapat dilihat. Kalimat “Siswa akan dapat menjelaskan atau menguraikan sesuatu” lebih tepat digunakan daripada “Siswa dapat mengerti, memahami, atau mengetahui sesuatu”.

Perhatikan contoh di bawah ini:

    Siswa akan dapat menggunakan dengan baik program Microsoft Office untuk membuat data dalam mata pelajaran Teknologi Informatika dan Komunikasi (TIK).
    Siswa akan dapat menyusun rekapitulasi data adminstrasi keuangan dengan menggunakan program Microsoft Office.
    Siswa akan dapat mendemonstrasikan lompat tinggi gaya flop (suatu lompat tinggi yang digunakan kebanyakan juara saat ini).

Ketiga contoh Tujuan Instruksional Umum (TIU) di atas masing-masing terdiri  atas 4 (empat) bagian, yaitu
1. Orang yang belajar.
Dalam kalimat-kalimat di atas orang belajar adalah siswa, bukan pengajar atau bukan orang lain. Tujuan memang harus berorientasi kepada siswa. Seringkali pengajar atau pengelola pendidikan yang lain membuat perumusan yang berorientasi kepada mereka sendiri sepertu dua contoh berikut:

    Tujuan pelajaran ini adalah mengajarkan cara mengoperasikan Microsoft Office dalam membuat data pada komputer;
    Program ini akan membahas secara mendalam tentang fungsi dan kegunaan program Microsoft Office dalam komputer.

Kedua contoh perumusan tujuan tersebut di atas tidak memperhatikan apa yang akan dicapai oleh siswa atau peserta didik. Keduanya dapat ditafsirkan bahwa sepanjang pengajar membahas atau mengajarkan pelajaran yang dimaksud atau program pengajaran berisi pelajaran tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun peserta didik belum dapat melakukan apa-apa.

2. Istilah yang digunakan adalah “akan dapat” bukan dapat atau sudah dapat.
Kalimat “akan dapat” menunjukkan bahwa tujuan instruksional dirumuskan sebelum peserta didik mulai belajar. Dan tujuan itu akan dicapai setelah proses belajar. Istilah “akan dapat” itu dihubungkan dengan kata kerja yang menunjukkan hasil belajar bukan kata kerja yang berorientasi kepada proses belajar seperti (siswa) mempelajar, membaca. Tujuan harus berorientasi kepada hasil belajar, bukan kepada proses belajar. Dengan demikian, bila ada perumusan tujuan yang berbunyi: “Siswa akan mempelajari teknik pengoperasian Microsoft Office dalam membuat data di Komputer”, dapat ditafsirkan bahwa sepanjang siswa telah melakukan proses tersebut, maka tujuan telah tercapai, walaupun siswa belum berhasil “memahami” apa yang telah dipelajarinya sebagai suatu tujuan. Padahal yang penting bukanlah siswa telah melakukan proses belajar tertentu, tetapi menunjukkan hasil belajar tertentu.

3.   Memilih kata kerja aktif dan dapat diamati.
Kata kerja dalam tujuan instruksional haruslah berbentuk kata kerja aktif dan dapat diamati, seperti menyusun, menggunakan atau mendemonstrasikan. Bandingkanlah dengan kata kerja memahami, mengetahui, dan merasakan yang tidak dapat diamati oleh mata serta tidak bisa diukur ketercapaiannya. Kata “mengetahaui” atau “memahami” dapat berarti “menjelaskan” atau dapat pula berarti “melakukan”. Kemampuan menjelaskan danmelakukan sangat besar bedanya. Karena itu, istilah “memahami” disebut tidak jelas dan tidak pasti karena berarti mengandung banyak pengertian, sehingga perlu dihindari.

4. Tujuan instruksional mengandung objek seperti penggunaan microsoft office, penyusunan data dalam microsoft office, dan lompat tinggi.
Bagian ketiga dan keempat dari tujuan instruksional yang berupa kata kerja dan objek adalah perilaku (behavior) yang diharapkan dikuasai peserta didik pada akhir proses belajarnya. Itulah sebabnya tujuan instruksional sering disebut tujuan yang bersifat prilaku (behavior objective). Ia disebut pula tujuan penampilan (performance objective) karena akan ditampilkan peserta didik setelah proses belajar.
Bagian ketiga dan keempat dari tujuan instruksional ini merupakan bagian yang sangat penting. Berdasarkan kedua bagian tersebut akan disusun tes dan strategi instruksional, termasuk metode, media, dan isi pelajaran. Karena itu, ketidakjelasan perumusan tujuan instruksional akan mengakibatkan ketidakjelasan dasar penyusunan komponen sistem instruksional yang lain. Di samping itu, kegiatan merumuskan tujuan instruksional merupakan salah satu wujud tanggungjawab seorang pengajar untuk dapat mengatakan atau orang lain menilai apakah ia berhasil atau belum berhasil mencapai tujuannya.
Tujuan instruksional di samping berfungsi sebagai sesuatu yang akan dicapai, berfungsi pula sebagai kriteria untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan instruksional. Oleh karena itu, seorang pengajar yang merumuskan tujuan instruksionalnya sebelum mulai proses pengajaran dapat dipandang sebagai pengajar yang bersedia mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalannya dalam mengajar. Atas dasar kriteria itu pula seorang pengajar dapat menentukan kapan ia harus memperbaiki efektifitas pengajarannya.
Jika ada yang beranggapan bahwa seorang pengajar tidak perlu merumuskan tujuan, tapi cukup mengajar dengan sungguh-sungguh saja, kemudian lakukan tes atau evaluasi, maka ini merupakan anggapan yang keliru. Sebab, pengajaran tanpa perumusan tujuan   instruksional secara jelas akan mempunyai implikasi tidak menentunya standar mutu pelajaan dan mutu lulusan program tersebut.
Tujuan instruksional umum (TIU) suatu mata pelajaran mungkin lebih dari satu, tetapi keduanya pasti berhubungan. Dalam hal seperti itu, TIU harus diurut dari perilaku yang harus atau sebaliknya dikuasai lebih dulu baru disusul dengan yang lainnya. Urutan ini akan menjadi petunjuk dalam menentukan urutan isi pelajaran/
Banyaknya TIU tergantung kepada kompleksitas dan ruang lingkup pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang akan dipelajari mahasiswa dalam mata pelajaran tersebut. Sebagai patokan umum mungkin sekitar 3 – 5 buah. Jumlah TIU yang terlalu banyak mungkin akan mengakibatkan sulitnya pengelolaan kegiatan instruksional. Walaupun demikian, tidak ada patokan yang dapat disetujui oleh semua orang tentang jumlah TIU ini.
Setelah merumuskan seluruh TIU tersebut dengan baik, maka selanjutkan seorang pengajar haruslah melakukan evaluasi terhadap kemungkinan ketercapaian dalam rumusan TIU itu, termasuk kendala-kendala yang akan dihadapi dalam melaksanakannya. Apabila ternyata tidak ditemukan kendala, maka TIU tersebut sudah dapat digunakan sebagai dasar pengembangan instruksional lebih lanjut. Namun jika ternyata akan diyakini memiliki kendala, maka TIU itu harus direvisi terlebih dahulu.

A. Taksonomi Tujuan Pendidikan
Kata Taksonomi diambil dari bahasa Yunani tassein yang berarti untuk mengklasifikasi dannomos yang berarti aturan. Taksonomi dapat diartikan sebagai klasifikasi berhirarki dari sesuatu, atau prinsip yang mendasari klasifikasi. Hampir semua — benda bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian — dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi Dalam dunia pendidikan, taksonomi ini dibuat guna mengklasifikasikan tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali disusun oleh Benjamin S. Bloom dan kawan-kawan pada tahun 1956, sehingga sering pula disebut sebagai “Taksonomi Bloom”. Taksonomi tujuan pendidikan ini sangat penting bagi tenaga pendidik agar memperoleh hasil yang maksimal.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa taksonomi tujuan instruksional membagi tujuan pendidikan dan instruksional ke dalam tiga domain (ranah/kelompok), yaitu ranah kognitif (kognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor(psychomotor domain). Adapun Cognitive Domain (Ranah Kognitif) yakni yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Sementara Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Sedangkan Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik,berenang, dan mengoperasikan mesin.
Beberapa istilah lain yang juga menggambarkan hal yang sama dengan ketiga domain tersebut di atas di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu:cipta, rasa, dan karsa. Selain itu, juga dikenal istilah: penalaran, penghayatan, danpengamalan.

B. Taksonomi Tujuan Kognitif
Taksonomi Bloom sangat dikenal di Indonesia, bahkan tampaknya yang paling terkenal dibandingkan dengan Taksonomi lainnya. Taksonomi Bloom mengelompokkan tujuan kognitif ke dalam enam kategori; yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Keenam kategori ini diasumsikan bersifat hierarkis; yang berarti tujuan pada level yang tinggi dapat dicapai hanya apabila tujuan pada level yang lebih rendah telah dikuasai. Keenam kategori ini secara umum akan dijelaskan berikut ini:
1. Pengetahuan/pengenalan.
Tujuan instruksional pada level ini menuntut peserta didik untuk mampu mengingat (recall) informasi yang telah diterima sebelumnya. Misalnya: fakta, terminology, rumus, strategi pemecahan masalah, dan sebagainya.
2. Pemahaman.
Tujuan pada kategori ini berhubungan dengan kemampuan untuk menjelaskan pengetahuan/informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Dalam hal ini peserta didik diharapkan untuk menerjemahkan atau menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri. Kata kerja yang diperoleh harus operasional, dengan pengertian bahwa kompetensi dan perilaku tersebut dapat diukur unjuk kerjanya. Hal ini penting untuk menunjukkan apakah tujuan instruksional yang ditetapkan dapat tercapai atau tidak pada akhir pembelajaran.
3. Penerapan.
Penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke dalam situasi atau konteks yang lain atau yang baru. Sebagai contoh, menyusun kuesioner penelitian untuk penulisan skripsi merupakan penerapan prinsip-prinsip penyusunan instrument penelitian yang sebelumnya telah dipelajari mahasiswa dalam mata kuliah metode penelitian.
4. Analisis
Analisis merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau kesimpulan, dan memeriksa setaip komponen tersebut untuk melihat ada tidaknya kontradiksi. Dalam hal ini peserta didik diharapkan untuk menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari. Sebagai contoh, pembuatan kritik suatu karya literatur atau seni merupakan analisis. Tugas seperti ini memerlukan kemampuan analisis sebab menuntut peserta didik untuk membuat tanggapan terhadap berbagai aspek, seperti tema, plot, derajat realisme, dan sebagainya, serta melihat hubungan di antara aspek-aspek tersebut.
5. Sintesis
Tujuan instruksional level ini menuntut mahasiswa untuk mampu mengkombinasikan bagian atau elemen ke dalam satu kesatuan atau struktur yang lebih besar. Menulis esay tentang “Perwujudan Bhineka Tunggal Ika dalam masyarakat Indonesia” merupakan contoh sintesis. Dalam hal ini mahasiswa harus melihat berbagai aspek social, budaya dan ekonomi dalam kelompok etnis. Misalnya system kekerabatan, system keagamaan, dan sebagainya, dan kemudian membandingkan perwujudan berbagai aspek tersebut dan membuat kesimpulan.
6. Evaluasi
Tujuan ini merupakan tujuan yang paling tinggi tingkatnya, yang mengharapkan mahasiswa mampu membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk, atau benda dengan menggunakan kriteria terntu. Sebagai contoh, kemampuan mengevaluasi suatu program video apakah memenuhi syarat sebagai program instruksional yang baik atau tidak, merupakan tujuan tingkat evaluasi. Dalam hal ini mahasiswa harus mempertimbangkan dari segi isi, strategi, presentasi, budaya, karakteristik pengguna, dan sebagainya. Di samping itu kriteria program yang baik harus terlebih dahulu jelas bagi mahasiswa.

C. Taksonomi Tujuan Afektif
Bagian berikut ini akan membahas tentang taksonomi tujuan afektif. Taksonomi afektif yang paling terkenal dikembangkan oleh Krathwohl, dkk. Pada dasarnya Krathwohl berusaha mengembangkan taksonomi ini ke dalam lima tingkat perilaku. Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964) mengembangkan taksonomi tujuan yang berorientasikan kepada perasaan atau afektif. Taksonomi ini menggambarkan proses seseorang di dalam mengenali dan mengadopsi suatu nilai dan sikap tertentu yang menjadi pedoman baginya dalam bertingkah laku. Krathwohl mengelompokkan tujuan afektif ke dalam lima kelompok, yaitu:

    Pengenalan/Penerimaan (receiving)
    Pemberian respon (responding)
    Penghargaan terhadap nilai (valuing)
    Pengorganisasian (organization)
    Pengamalan (characterization)

Pengelompokkan ini juga bersifat hierarkhis, dengan pengenalan sebagai tingkat yang paling rendah (sederhana) dan pengamalan sebagai tingkat paling tinggi. Makin tinggi tingkat tujuan dalam hierarkhi semakin besar pula keterlibatan dan komitmen seseorang terhadap tujuan tersebut.
1. Pengenalan/Penerimaan (receiving)
Tujuan instruksional kelompok ini mengharapkan mahasiswa untuk mengenal, bersedia menerima dan memperhatikan berbagai stimulus. Dalam hal ini mahasiswa masih bersikap pasif, sekedar mendengarkan atau memperhatikan saja. Contoh kata kerja operasionalnya adalah: Mendengarkan, Menghadiri, Melihat, Memperhatikan, dan sebagainya.
2. Pemberian respon (responding)
Keinginan untuk berbuat sesuatu sebagai reaksi terhadap suatu gagasan, benda, atau system nilai, lebih daripada sekedar pengenalan saja. Dalam hal ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan prilaku yang diminta, misalnya berpartisipasi, patuh atau memberikan tanggapan secara sukarela bila diminta.
3. Penghargaan terhadap nilai (valuing)
Penghargaan terhadap suatu nilai merupakan perasaan, keyakinan atau anggapan bahwa suatu gagasan, benda atau cara berfikir tertentu mempunyai nilai (worth). Dalam hal ini mahasiswa secara konsisten berprilaku sesuai dengan suatu nilai meskipun tidak ada pihak lain yang meminta, atau mengharuskan. Nilai dan value ini dapat saja dipelajari dari orang lain. Misalnyan dosen, teman atau keluarga.
4. Pengorganisasian (organization)
Pengorganisasian menunjukkan saling berhubungan antara nilai-nilai tertentu dalam suatus sistem nilai, serta menentukan nilai mana yang mempunyai prioritas lebih tinggi daripada nilai yang lain. Dalam hal ini mahasiswa menjadi committed terhadap suatu sistem nilai. Dia diharapkan untuk mengorganisasikan berbagai nilai yang dipilihnya ke dalam satu sistem nilai, dan menentukan hubungan di antara nilai-nilai tersebut.
5. Pengamalan (characterization)
Pengamalan berhubungan dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai ke dalam suatu sistem nilai pribadi. Hal ini diperlihatkan melalui perilaku yang konsisten dengan sistem nilai tersebut. Pada tingkat ini mahasiswa bukan saja telah mencapai perilaku-perilaku pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, tetapi telah mengintegrasikan nilai-nilai tersebut ke dalam suatu filsafat hidup yang lengkap dan menyakinkan, dan prilakunya akan selalu konsisten dengan filsafat hidup tersebut. Filsafat hidup tersebut merupakan bagian dari karakter.
D.      Taksonomi Tujuan Psikomotor
Dari contoh-contoh tujuan afektif ini terlihat bahwa pada tingkat-tingkat yang tinggi (valuing, organization dan characterization) perilaku yang merupakan indikator tercapainya tujuan-tujuan tersebut overlapping dan tidak dapat dipisahkan dengan  tegas. Ini menunjukkan bahwa meskipun secara konseptual tingkat-tingkat tersebut dapat dipisahkan dan nampaknya mempunyai hubungan hierarkhis, perumusan tujuan tidak dapat dengan jelas dibedakan. Hal ini pula-lah yang membuat tujuan afektif menjadi sulit dievaluasi apakah tercapai atau tidak.

Kawasan psikomotor pada tahun 1956 kurang mendapat perhatian dari Bloom dan kawan-kawannya karena mereka tidak percaya bahwa pengembangan tujuan dalam kawasan tersebut sangat berguna. Tetapi mereka menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam kawasan ini berkenaan dengan otot, keterampilan motorik, atau gerak yang membutuhkan koordinasi otot.
Namun beberapa pakar lain berhasil mengembangkan taksonomi kawasan psikomotor, salah satunya dikembangkan oleh Harrow (1972). Taxonomy Harrow ini juga menyusun tujuan psikomotor secara hierarkhis dalam lima tingkat, mencakup tingkat meniru sebagai yang paling sederhana dan naturalisasi sebagai yang paling kompleks.
1. Meniru (Immitation)
Tujuan instruksional pada tingkat ini mengharapkan mahasiswa untuk dapat meniru suatu prilaku yang dilihatnya.
2. Manipulasi (Manipulation)
Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan untuk melakukan suatu prilaku tanpa bantuan visual, sebagaimana pada tingkat meniru. Mahasiswa diberi petunjuk berupa tulisan atau instruksi verbal, dan diharapkan melakukan tindakan (prilaku) yang diminta. Contoh kata kerja yang digunakan sama dengan untuk kemampuan meniru.
3. Ketetapan Gerakan (Pecision)
Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan suatu perilaku tanpa menggunakan contoh visual maupun petunjuk tertulis, dan melakukannya dengan lancar, tepat, seimbang, dan akurat.
4. Artikulasi (Artikulation)
Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan untuk menunjukkan serangkaian gerakan dengan akurat, urutan yang benar, dan kecepatan yang tepat.
5. Naturalisasi (Naturalization)
Pada tingkat ini mahasiswa diharapkan melakukan gerakan tertentu secara spontan atau otomatis. Mahasiswa melakukan gerakan tersebut tanpa berfikir lagi cara melakukannya dan urutannya.
Dari ketiga kawasan tujuan pendidikan di atas, yang paling banyak mendapatkan perhatian pada jenjang pendidikan tinggi adalah kawasan kognitif. Di dalam kawasan kognitif yang paling penting adalah jenjang analisis sintesis dan evaluasi, karena sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah.
Tapi sesungguhnya pengklasifikasian ini tidak dimaksudkan untuk memilah-milah prilaku manusia seperti halnya kita mencopoti kursi menjadi bagian-bagiannya, melainkan hanyalah sebagai usaha pakar dalam menganalisis prilaku peserta ddik agar memungkinkan pengembangan usaha-usaha pendidikan secara lebih sistematis. Dan dengan mengetahui titik berat kawasan prilaku tersebut, tenaga pendidik dapat menyusun rencana dan program pendidikan yang lebih terarah kepada tujuan pendidikan yang dimaksud dan lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Sumber : http://husnyarifuddin.blogspot.com/2012/11/3-tujuan-instruksional-umum.html

Karangan Ilmiah, Non Ilmiah, dan Semi Ilmiah (Populer)

      Karangan merupakan karya tulis hasil dari kegiatan seseorang untuk mengungkapkan gagasan dan menyampaikanya melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami. Dalam artikel ini akan dibahas tentang 3 jenis karangan, yaitu: karangan ilmiah, karangan non ilmiah, dan karangan semi ilmiah. Berikut ini penjelasannya.

1. Karangan ilmiah

      Karangan ilmiah adalah biasa disebut karya ilmiah, yakni laporan tertulis dan diterbitkan yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat keilmuan.
      Ada berbagai jenis karya ilmiah, antara lain laporan penelitian, makalah seminar atau simposium, dan artikel jurnal yang pada dasarnya kesemuanya itu merupakan produk dari kegiatan ilmuwan. Data, simpulan, dan informasi lain yang terkandung dalam karya ilmiah tersebut dijadikan acuan bagi ilmuwan lain dalam melaksanakan penelitian atau pengkajian selanjutnya.
      Di perguruan tinggi, khususnya jenjang S1, mahasiswa dilatih untuk menghasilkan karya ilmiah seperti makalah, laporan praktikum, dan skripsi (tugas akhir). Skripsi umumnya merupakan laporan penelitian berskala kecil, tetapi dilakukan cukup mendalam. Sementara itu, makalah yang ditugaskan kepada mahasiswa lebih merupakan simpulan dan pemikiran ilmiah mahasiswa berdasarkan penelaahan terhadap karya-karya ilmiah yang ditulis oleh para pakar dalam bidang persoalan yang dipelajari. Penyusunan laporan praktikum ditugaskan kepada mahasiswa sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan menyusun laporan penelitian.
Tujuan karya ilmiah, antara lain:

    Sebagai wahana melatih mengungkapkan pemikiran atau hasil penelitiannya dalam bentuk tulisan ilmiah yang sistematis dan metodologis.
    Menumbuhkan etos ilmiah di kalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu menjadi penghasil (produsen) pemikiran dan karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan, terutama setelah penyelesaian studinya.
    Karya ilmiah yang telah ditulis itu diharapkan menjadi wahana transformasi pengetahuan antara sekolah dengan masyarakat, atau orang-orang yang berminat membacanya.
    Membuktikan potensi dan wawasan ilmiah yang dimiliki mahasiswa dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam bentuk karya ilmiah setelah yang bersangkutan memperoleh pengetahuan dan pendidikan dari jurusannya.
    Melatih keterampilan dasar untuk melakukan penelitian.


Manfaat penyusunan karya ilmiah bagi penulis adalah berikut:

    Melatih untuk mengembangkan keterampilan membaca yang efektif;
    Melatih untuk menggabungkan hasil bacaan dari berbagai sumber;
    Mengenalkan dengan kegiatan kepustakaan;
    Meningkatkan pengorganisasian fakta/data secara jelas dan sistematis;
    Memperoleh kepuasan intelektual;
    Memperluas cakrawala ilmu pengetahuan;
    Sebagai bahan acuan/penelitian pendahuluan untuk penelitian selanjutnya


2. Karangan Non Ilmiah

      Karya non-ilmiah adalah karangan yang menyajikan fakta pribadi tentang pengetahuan dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, bersifat subyektif, tidak didukung fakta umum, dan biasanya menggunakan gaya bahasa yang popular atau biasa digunakan (tidak terlalu formal).
Ciri-ciri karya tulis non-ilmiah, yaitu:

    Ditulis berdasarkan fakta pribadi,
    Fakta yang disimpulkan subyektif,
    Gaya bahasa konotatif dan populer,
    Tidak memuat hipotesis,
    Penyajian dibarengi dengan sejarah,
    Bersifat imajinatif,
    Situasi didramatisir,
    Bersifat persuasif.
    Tanpa dukungan bukti

Jenis-jenis yang termasuk karya non-ilmiah, yaitu:

    Dongeng
    Cerpen
    Novel
    Drama
    Roman


3. Karangan Semi Ilmiah (Populer)

      Karya tulis semi ilmiah merupakan sebuah penulisan yang menyajikan fakta dan fiksi dalam satu tulisan yang ditulis dengan bahasa konkret dan formal, kata-katanya teknis dan didukung dengan fakta umum yang dapat dibuktikan kebenarannya. Karya tulis ini juga merupakan sebuah penulisan yang menyajikan fakta dan fiksi dalam satu tulisan dan penulisannya tidak semiformal tetapi tidak sepenuhnya mengikuti metode ilmiah yang sintesis-analitis karena sering dimasukkan dalam kary tulis ini. Karya tulis semi ilmiah biasanya digunakan dalam komik, anekdot, dongeng, hikayat, novel, roman dan cerpen.

Perbedaan Karya Ilmiah dengan Nonilmiah
      Istilah karya ilmiah dan nonilmiah merupakan istilah yang sudah sangat lazim diketahui orang dalam dunia tulis-menulis. Berkaitan dengan istilah ini, ada juga sebagian ahli bahasa menyebutkan karya fiksi dan nonfiksi. Terlepas dari bervariasinya penamaan tersebut, hal yang sangat penting untuk diketahui adalah baik karya ilmiah maupun nonilmiah/fiksi dan nonfiksi atau apa pun namanya, kedua-keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Perbedaan-perbedaan yang dimaksud dapat dicermati dari beberapa aspek.

    Karya ilmiah harus merupakan pembahasan suatu hasil penelitian (faktual objektif). Faktual objektif adalah adanya kesesuaian antara fakta dan objek yang diteliti. Kesesuaian ini harus dibuktikan dengan pengamatan atau observasi.
    Karya ilmiah bersifat metodis dan sistematis. Artinya, dalam pembahasan masalah digunakan metode atau cara-cara tertentu dengan langkah-langkah yang teratur dan terkontrol melalui proses pengidentifikasian masalah dan penentuan strategi.
    Dalam pembahasannya, tulisan ilmiah menggunakan ragam bahasa ilmiah. Dengan kata lain, ia ditulis dengan menggunakan kode etik penulisan karya ilmiah. Perbedaan-perbedaan inilah yang dijadikan dasar para ahli bahasa dalam melakukan pengklasifikasian.

      Selain karya ilmiah dan nonilmiah yang telah disebutkan di atas, terdapat juga karangan yang berbentuk semiilmiah/ilmiah populer. Sebagian ahli bahasa membedakan dengan tegas antara karangan semiilmiah ini dengan karangan ilmiah dan nonilmiah. Finoza (2005:193) menyebutkan bahwa karakteristik yang membedakan antara karangan semiilmiah, ilmiah, dan nonilmiah adalah pada pemakaian bahasa, struktur, dan kodifikasi karangan. Jika dalam karangan ilmiah digunakan bahasa yang khusus dalam di bidang ilmu tertentu, dalam karangan semiilmiah bahasa yang terlalu teknis tersebut sedapat mungkin dihindari. Dengan kata lain, karangan semiilmiah lebih mengutamakan pemakaian istilah-istilah umum daripada istilah-istilah khusus. Jika diperhatikan dari segi sistematika penulisan, karangan ilmiah menaati kaidah konvensi penulisan dengan kodifikasi secara ketat dan sistematis, sedangkan karangan semiilmiah agak longgar meskipun tetap sistematis. Dari segi bentuk, karangan ilmiah memiliki pendahuluan (preliminaris) yang tidak selalu terdapat pada karangan semiilmiah.
      Berdasarkan karakteristik karangan ilmiah, semiilmiah, dan nonilmiah yang telah disebutkan di atas, yang tergolong dalam karangan ilmiah adalah laporan, makalah, skripsi, tesis, disertasi; yang tergolong karangan semiilmiah antara lain artikel, feature, kritik, esai, resensi; yang tergolong karangan nonilmiah adalah anekdot, dongeng, hikayat, cerpen, cerber, novel, roman, puisi, dan naskah drama.
      Karya nonilmiah sangat bervariasi topik dan cara penyajiannya, tetapi isinya tidak didukung fakta umum. Karangan nonilmiah ditulis berdasarkan fakta pribadi, dan umumnya bersifat subyektif. Bahasanya bisa konkret atau abstrak, gaya bahasanya nonformal dan populer, walaupun kadang-kadang juga formal dan teknis. Karya nonilmiah bersifat, antara lain :

    Emotif : merupakan kemewahan dan cinta lebih menonjol, tidak sistematis, lebih mencari keuntungan dan sedikit informasi
    Persuasif : merupakan penilaian fakta tanpa bukti. Bujukan untuk meyakinkan pembaca, mempengaruhi sikap cara berfikir pembaca dan cukup informative
    Deskriptif : merupakan pendapat pribadi, sebagian imajinatif dan subjektif, dan
    Jika kritik adakalanya tanpa dukungan bukti.


Perbedaan Karya Ilmiah dengan Semi ilmiah
      “Kecermatan dalam berbahasa mencerminkan ketelitian dalam berpikir” adalah slogan yang harus dipahami dan diterapkan oleh seorang penulis. Melalui kecermatan bahasa gagasan atau ide-ide kita akan tersampaikan. Oleh karena itu, penguasaan bahasa amat diperlukan ketika Anda menulis.
Bahasa dalam karangan ilmiah menggunakan ragam bahasa Indonesia resmi. Ciri-ciri ragam resmi yaitu menerapkan kesantunan ejaan (EYD/Ejaan Yang Disempurnakan), kesantunan diksi, kesantunan kalimat, kesantunan paragraph, menggunakan kata ganti pertama “penulis”, bukan saya, aku, kami atau kita, memakai kata baku atau istilah ilmiah, bukan popular, menggunakan makna denotasi, bukan konotasi, menghindarkan pemakaian unsur bahasa kedaerahan, dan mengikuti konvensi penulisan karangan ilmiah.
Terdapat tiga bagian dalam konvensi penulisan karangan ilmiah, yaitu bagian awal karangan (preliminaries), bagian isi (main body), dan bagian akhir karangan (reference matter).
      Berbeda dengan karangan ilmiah, bahasa dalam karangan semiilmiah/ilmiah popular dan nonilmiah melonggarkan aturan, seperti menggunakan kata-kata yang bermakna konotasi dan figurative, menggunakan istilah-istilah yang umum atau popular yang dipahami oleh semua kalangan, dan menggunakan kalimat yang kurang efektif seperti pada karya sastra.

Sumber : http://gatotbukankaca.weebly.com/bahasa-indonesia-2-karangan-ilmiah-non-ilmiah-dan-ilmiah-populer.html